Sunday, October 31, 2010

Masa Depan yang Dijanjikan

Kau percaya pada takdir ?

Saya percaya.. dan takdirlah yang membawa saya duduk di sini, sebuah gerbong kereta api kelas bisnis. Saya duduk pas di pojokan dekat dengan kamar mandi/WC gerbong. Sesekali aroma tak sedap dari WC pun terpaksa saya hirup. Tapi itu tak mengurangi kegairahan dalam hati. Sebuah kegairahan yang muncul dari harapan akan masa depan cerah yang dijanjikan.

Seminggu yang lampau, saya menemukan nama saya tertera di sebuah halaman koran lokal. Tulisannya kecil memang, tapi artinya sangat besar sekali. Bahkan, bagi seorang anak miskin seperti saya, itulah nafas terakhir untuk masa depan yang lebih baik. Tak ada arti lain. Saya diterima di sebuah perguruan tinggi teknik paling disegani di negeri ini.

Karena itulah kini saya berada di gerbong yang pengap ini, gelisah duduk di kursi kereta yang sudah hampir kehilangan kelenturannya. Salah jika kau mengira saya tak menikmatinya. Kau tak tahu betapa bersyukurnya saya bisa berada di sini. Kau mungkin juga tak mengerti betapa pontang pantingnya saya hanya sekedar untuk mencari dana penebus tiket kereta ini. Tapi mungkin kau bisa membayangkan betapa antusiasme saya begitu membuncah. Nyaris saja saya ingin seperti seorang superhero, melompat dari kereta ini dan terbang sekencang-kencangnya agar segera bisa sampai di kota tujuan. Tapi apalah daya, saya harus menyabarkan diri mengikuti laju kereta ini, menempuh 13 jam perjalanan dari Surabaya ke Bandung.

Mungkin takdir pula yang mengatur siapa yang duduk di sebelah saya. Bukan seorang dermawan kaya raya. Bukan pula seorang gadis remaja cantik jelita. Penampilannya kumal, rambutnya kusut masai, roman mukanya dipenuhi dengan jejak keletihan. Khas rakyat jelata, seperti saya. Jika ditanya satu persatu, mungkin beliau tak memiliki arti spesial apapun bagi para penghuni gerbong lainnya. Lalu, apa luar biasanya beliau? Bagi saya, beliau adalah bagian dari bonus luar biasa. Nama beliau adalah Pak Dadang dan beliau adalah seorang sopir angkutan kota jurusan Ledeng-Cicaheum, Bandung.

Wajar jika kamu masih tak mengerti kenapa saya menganggap Pak Dadang adalah orang istimewa. Begini, kenyataannya, saya tak pernah membayangkan sama sekali jika saya harus berurusan dengan kota Bandung. Bahkan pemilihan perguruan tinggi pun cuma berdasar pada feeling. Suatu alasan yang sangat absurd untuk menentukan jalan masa depan. Tapi itulah kenyataannya. Saya sama sekali tak memiliki persiapan apapun. Saya bahkan tak tahu kota Bandung wujudnya seperti apa, apalagi membayangkan akan tinggal di mana nantinya. Satu-satunya hal yang bisa terpikir di otak saya kala itu adalah bagaimana bisa sampai di Bandung dengan selamat. Urusan tetek bengek lainnya, biar diurus nanti sajalah. Disinilah letak peran Pak Dadang. Dengan bersemangat, beliau menerangkan segala hal tentang kota Bandung, bahkan tanpa saya minta sekalipun. Saya sampai percaya bahwa semua sopir angkot di bandung seramah Pak Dadang. Ramai kami mengobrol hingga jauh larut malam. Saat Pak Dadang sudah nampak kelelahan sendiri, beliau pun pamit istirahat, sementara saya meneruskan lamunan. Saya bayangkan kota Bandung sesuai dengan cerita Pak Dadang, sambil tersenyum dan gelisah sendiri. Akhirnya, tanpa terasa saya pun tertidur sambil terduduk di kursi.

Brakk..brak..brakkk...

Saya terbangun dengan kaget mendengar suara-suara keras itu. Ada yang menggebrak-gebrak dinding luar kereta. Hari masih gelap. Jam tangan murahan saya menunjukkan waktu hampir jam setengah empat pagi. Rupanya belum lama juga saya tertidur. Ramai terdengar banyak suara anak kecil di luar kereta. Mereka meneriakkan permintaan sedekah uang, layaknya para pengemis. Saya pun dibuat terheran-heran dan sejenak kantuk pun menyingkir. Saya mengintip melalui jendela. Benar saja, ada beberapa anak kecil di luar sana. Usia mereka mungkin sekitar 5-13 tahun. Beberapa bahkan terlihat seperti para balita. Mereka berjalan sepanjang kereta yang berhenti. Tak hentinya menggebrak dinding kereta meminta perhatian, sambil meneriakkan permintaan sedekah uang.

Siapa sebenarnya mereka? Anak-anak seperti apa yang mengemis di pagi buta begini? Anak-anak jalanan kah mereka? Orang tua macam apakah yang membiarkan anak-anak itu berkeliaran di pagi buta begini? Berbagai pertanyaan terlintas dalam pikiran saya. Kelak, baru saya mengetahui bahwa itulah cara hidup yang mereka jalani setiap harinya. Lebih disebabkan tuntutan hidup yang kadang menginginkan sesuatu untuk bisa bertahan dalam kerasnya kehidupan. Dan dunia kecil dalam gerbong kereta tersebut bagaikan dunia lain bagi mereka, perlambang kehidupan yang lebih baik dari yang mereka miliki. Tanpa terasa, saya ulurkan sejumlah kecil uang yang langsung mereka perebutkan. Anak yang berhasil merebut uang itu segera berlari dan tertawa gembira, sementara teman-temannya terlihat merengut dan tak rela. Sebagian kecil mengejar anak yang berlari itu, dan sebagian besar lainnya malah makin keras menggebrak dinding kereta di tempat saya duduk. Makin lama mereka makin banyak berkumpul meneriakkan tuntutan persamaan perlakuan pada saya. Tentu saja saya agak gugup karena tingkah mereka yang makin ramai. Apalagi, kegaduhan mereka berhasil membangunkan orang-orang di sekitar saya. Mereka memandang ke arah saya, seperti meminta penjelasan apa yang telah terjadi. Bukan ini yang saya harapkan. Untunglah Pak Dadang yang ikut terbangun segera membentak dan mengusir anak-anak itu. Kegaduhan pun mereda meski masih terdengar suara-suara mereka di bagian kereta yang lain. Pak Dadang dan yang lain pun meneruskan istirahat mereka yang terganggu.

Saya kembali duduk tenang. Pikiran saya menerawang. Kalau dipikir-pikir, saya dan anak-anak tadi memiliki beberapa kesamaan. Kami sama-sama putra-putri negeri ini. Kami terlahir miskin dan karenanya harus berjuang setengah mati untuk sekedar didengar, diperhatikan, dan berebut sejumput kecil rejeki yang kami anggap sebagai masa depan. Bagi para orang miskin, arti masa depan mungkin tak lebih dari esok hari atau minggu depan. Saya merasa sangat beruntung karena saat itu, saya bagaikan anak kecil yang tadi berlari tertawa karena berhasil merebut uang yang saya berikan.

Terbayang kembali apa yang telah saya lakukan bulan-bulan terakhir ini. Bagaimana saya yang miskin dan berotak pas-pasan ini harus setengah mati berjuang hanya sekedar untuk menghidupkan nyala api semangat untuk mendapatkan tempat mengasah otak di masa depan. Sudah sangat jamak di negeri ini tiap tahunnya, berjuta-juta remaja tanggung harus berjuang merebut jatah terbatas bangku kuliah di perguruan tinggi negeri yang konon bergengsi dan menjanjikan masa depan cemerlang itu. Saya pernah jadi bagian dari itu, meski rasanya sukar untuk melihat bagaimana saya bisa melewatinya. Di saat semua anak dipersenjatai dengan amunisi lengkap, buku paling update dan Lembaga Bimbingan Belajar paling bonafit, saya hanya bisa bersenjata sebuah buku bekas berisi kumpulan soal-soal tahun terdahulu. Itulah senjata utama yang tak pernah lepas dari sisi saya kemanapun berada, bahkan juga ketika berada di kamar mandi atau ketika berdesakan di pasar untuk membeli benang jahit pesanan Bapak.

Semangat itu sempat meredup ditelan kekhawatiran akan biaya pendidikan yang jelas di luar jangkauan. Apalagi ketika orang tua terpaksa harus berterus terang dan menjelaskan posisi mereka yang tak memiliki banyak pilihan. Saya sempat merasa iri melihat teman-teman lain yang lebih ditunjang kemampuan finansial orang tuanya atau juga kepada kawan lain, sesama penghuni kasta orang-orang miskin namun dikaruniai otak brilian yang mengantarkan mereka pada tawaran PMDK dan beasiswa. Saya panik dan hampir saja menyerah. Untungnya, nasib saya sedikit terselamatkan oleh harapan dari beasiswa sebuah yayasan tersohor di negeri ini.

Itu semua adalah proses yang terasa sangat ajaib bagi saya. Namun, hal yang paling ajaib adalah ketika saya harus menentukan pilihan tempat saya kuliah nanti. Sebenarnya, jauh-jauh hari, saya sudah memiliki pilihan sendiri yang saya dambakan sejak lama, jurusan informatika di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya. Pilihan itu bahkan telah saya buat saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, saat pertama kali mengenal benda bernama komputer dan langsung jatuh hati kepadanya. Saya hampir tak bisa membayangkan pilihan lain yang tersedia dan masuk akal untuk saya pilih.

Saya tahu itu adalah pilihan yang sangat riskan. Statistika pilihan jurusan selama bertahun-tahun menunjukkan dengan jelas bahwa Informatika adalah jurusan paling favorit, sementara kemampuan saya sama sekali tak bisa digolongkan sebagai cemerlang. Jika ingin main sedikit aman, saya seharusnya memilih jurusan yang sedikit di bawah pilihan saya itu. Tapi saya pikir, kali itu saya harus nekat memilih apa yang sudah lama jadi dambaan itu. Itulah yang saya pikirkan hingga malam misterius itu tiba.

Sebenarnya malam itu tak ubahnya malam-malam lainnya. Langit cerah, bintang tampak berkerlap-kerlip dan udara pengap khas kota kelahiran saya. Saya terduduk di sebuah kursi teras rumah tempat saya dan beberapa teman sedang belajar bersama. Di saat yang lain sedang serius memikirkan pelbagai rumus dan hafalan, saya malah asyik bercengkrama dengan pikiran saya sendiri.

Saya mencoba memikirkan kembali pilihan-pilihan jurusan yang akan saya ambil. Formulir pendaftaran ujian sudah ada di tangan saya dan harus diserahkan keesokan harinya. Entah malaikat mana yang kebetulan lewat malam itu, tiba-tiba pikiran saya seperti tercerahkan. Dada saya berdebar bergemuruh tatkala pikiran saya mengerucut pada sebuah pilihan. Luar biasanya, pilihan itu bukan lagi pilihan yang saya dambakan sejak lama. Konyolnya lagi, pilihan itu adalah sebuah jurusan yang sejak lama saya cibir dan saya abaikan. Lebih daripada itu, perguruan tinggi yang saya pilih jauh melebihi rasio kenormalan. Passing grade dan persaingan memperebutkannya luar biasa tinggi, dan catatan prestasi saya jelas sangat mencerminkan betapa tidak kompetitifnya saya untuk masuk dalam kancah pertarungan. Bahkan siswa yang jauh lebih cemerlang dari saya pun tak berani sebodoh dan senekat itu.

Beberapa teman dekat menunjukkan ketidaksetujuan terhadap pilihan saya. Dalam pandangan mereka, itu bukan hanya keputusan nekat tapi sudah seperti misi bunuh diri. Mereka menyarankan pada saya untuk memikirkan ulang keputusan tersebut. Tapi saya tetap bergeming. Itulah keputusan bulat saya dan itu pulalah yang tertulis dalam formulir pendaftaran yang saya serahkan keesokan harinya. Terbukti, wangsit misterius itu tak mengkhianati saya. Saya lulus dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri itu.

Tak terasa saya tertidur kembali di tengah laju kereta yang berderap dan bergoncang-goncang. Sebuah tepukan dan panggilan membangunkan saya dari tidur. Rupanya petugas kereta yang bermaksud mengumpulkan bantal sewaan yang sedang saya pakai. Katanya, sebentar lagi kereta akan sampai di Bandung. Saya tengok jam tangan saya. Masih jam lima lewat sedikit. Saya bergegas ke kamar mandi kereta untuk mengambil air wudhu dan kemudian melaksanakan sholat shubuh sambil duduk di kursi. Setelahnya, saya memakai jaket lusuh model lama yang tergantung di sandaran kursi, hadiah tulus dari paman ketika dia tahu bahwa saya diterima di perguruan tinggi di Bandung.

Hawa dingin menyengat tajam menandakan bahwa Bandung memang sudah dekat. Memikirkannya membuat aliran adrenalin terpompa di dalam tubuh dan memusnahkan segala rasa kantuk yang tersisa. Sisa waktu saya habiskan dengan mencoba mereka-reka kembali bayangan imajiner saya tentang kota Bandung dan mengira-ngira seperti apakah kehidupan perkuliahan saya nanti.

Jarum jam menunjukkan waktu hampir jam enam pagi ketika kereta api Mutiara Selatan berhenti tepat di stasiun Hall kota Bandung. Saya pun turun dari kereta bersama dengan penumpang lainnya. Dada saya bergemuruh keras tatkala kaki menapak untuk pertama kali di tanah kota ini. Rupanya beginilah rasanya jika kita menggenggam keinginan. Masa depan saya sepertinya meloncat jauh ke depan, melampaui horizon bayangan. Sebagian menyebutnya sebagai mimpi. Bagi saya, itu adalah sebuah harapan. Harapan itu bernama Departemen Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung

---
Farisol
13201040

0 comments:

Post a Comment

 

About

Kontributor kumpulan kisah dalam blog ini adalah Teknik Elektro ITB angkatan 2001. Dengan berbagai latar belakang, beraneka jenis program studi (lihat di "kategori kuliah"), dan pengalaman yang berbeda-beda, sampai detik ini kami masih terus disatukan dalam benang merah kehidupan lewat serangkaian obrolan di dunia maya, milis, maupun beberapa kali kopi darat.

Site Info

Blog ini dibuat sebagai bunga rampai untuk merangkum kisah dan pengalaman yang kadang terurai oleh jarak dan waktu. Sekaligus sebagai memorial dalam menyambut momen satu dasawarsa hadirnya Teknik Elektro ITB angkatan 2001.

Text

antologi kisah teknik elektro ITB 2001 Copyright © 2009 Community is Designed by Bie