Showing posts with label Yustika. Show all posts
    Showing posts with label Yustika. Show all posts

    Sunday, October 31, 2010

    Kuliah

    Suatu malam aku dan suamiku berbincang tentang masa-masa kuliah dan bernostalgia dengan kehidupan kampus, mengingat kami kuliah di tempat yang sama. Dia bercerita dengan penuh semangat tentang kawan-kawannya dan betapa mengasyikkannya studinya. Dia tampak begitu menikmati masa kuliahnya (nggak heran, dia lulus dengan predikat cum laude dan IPK 3.82 gitu lohh).

    Dalam banyak hal, aku dan suamiku sangat berbeda. Sifat, kepribadian, karakter, pola pikir, dan latar belakang kami jauh berbeda. Maha Suci Allah yang telah menyatukan kami dalam pernikahan, karena kadang aku masih saja terheran-heran dengan perbedaan kami. Tak terkecuali masa kuliah, juga sangat berbeda.

    Buatku, masa-masa kuliah adalah masa-masa terberat dalam hidupku selama ini. Aku seperti diingatkan tentang sebuah perjuangan dan luka yang ditimbulkan olehnya. Kehidupan kampus yang--menurutku--keras dan lingkungan pertemanan yang--menurutku--tidak bersahabat, membuat masa-masa kuliahku penuh dengan air mata, rendah diri, depresi, ketidaksukaan terhadap banyak hal (termasuk diriku sendiri), dan rasa pesimis yang luar biasa dalam memandang hidup. Saat itu perasaan dan self esteem-ku bagai berada di titik nadir. Yah, kau mungkin akan mengalami hal yang sama jika kau pernah ber-IP satu koma selama tiga semester berturut-turut, pernah mendapat surat peringatan tentang tenggang waktu DO, dan pernah dibanding-bandingkan oleh dosen wali dengan mahasiswa lain yang ber-IP nyaris empat! Tanpa pertolongan Allah, aku mungkin nggak akan pernah ”keluar hidup-hidup” dari sana. Tanpa pertolongan Allah, aku mungkin nggak akan pernah lulus sidang TA dan diwisuda.

    Tak terasa perbincangan kami malam itu membuat mataku berkaca-kaca. Bagaimana tidak, mengingat masa-masa sulit itu bagai menggarami luka yang belum kering. Semua kenangan buruk berkelebatan muncul dan menyesakkan dada.

    Maha Besar Allah yang memberi pencerahan. Kasih-Nya selalu menyertai. Kini aku masih berusaha--dan akan terus berusaha--bersikap positif, mensyukuri banyak hal, dan lebih menyayangi diri sendiri. Satu hal yang waktu itu aku lupa: aku selalu fokus pada kelemahan. Padahal itu justru akan mengalihkan perhatian dari kelebihan yang ada. Bersibuk-sibuk mengurusi hal-hal yang tidak tepat justru akan membuat hal-hal tepat menjadi tak terlihat.

    I have a great life. It’s so beautiful. What else could it be?

    ---
    Medio Oktober 2007
    oleh Yustika
    13201137

    Beristirahat dari Rutinitas

    [ditulis ketika sedang dalam masa perjuangan menyusun TA]

    Satu jam menjelang maghrib. Rintik hujan rapat-rapat turun ke bumi. Aku memilih berjalan kaki pulang dari tempat senam sampai ke rumah. Mencoba untuk mengistirahatkan motor dan menikmati sesuatu yang lain. Itu rute yang biasa, tapi pengalaman melewatinya berbeda. Ada banyak hal terlewat dari perjalananku di atas motor selama ini. Ternyata laju kencang motor membuatku terasing dari realita.

    Kubiarkan tetes air hujan yang selama ini tertangkis kaca helm, membasahi jilbab dan wajahku. Kubiarkan diriku memekik saat terciprat kubangan oleh kendaraan yang lewat. Kubiarkan kedua ujung sepatuku berjinjit satu-satu menapaki jalanan basah.

    Lalu kubiarkan mata ini menikmati kehidupan orang-orang. Bapak-bapak tukang ojek yang berbincang merapat di bawah atap warung, pemuda berambut basah yang berteriak membantu sopir angkot mendapatkan penumpang, abang-abang penjual kaki lima yang mengukus kue atau menggoreng penganan, ibu penjual bakso yang sedang sibuk berbicara sambil mengelap kaca gerobak bakso, pengendara motor yang tergesa berpacu dengan waktu, abang tukang tambal ban yang mendorong mesinnya di jalan, sampai anak-anak punk beranting-anting yang asyik bernyanyi dan memetik gitar... mereka menuturkan kisah hidupnya padaku. Masih sempat pula kuperhatikan detil-detil arsitektur beberapa bangunan yang selama ini menarik perhatianku, tapi tidak punya cukup waktu untuk kuamati.

    Setengah jam berjalan kaki telah membawaku melalui banyak hal. Begitu banyak energi, begitu banyak keindahan. Membuatku malu mengapa aku sering kehilangan energi untuk menjalani hidup.

    -------------------------------------------------------------------------------------------------

    Sore hari yang mendung dengan sedikit rintik membasahi. Angin bertiup pelan membawa semilir menyejukkan. Kuabaikan kebiasaan untuk bergegas pulang dari kampus, dan kuputuskan untuk sebentar bercengkerama dengan suasana. Di sini, di selasar TU Elektro, dua jam menjelang maghrib.

    Di balkon lantai dua ini, lampu-lampu sudah mulai dinyalakan dan aku duduk seorang diri. Kubiarkan angin mempermainkan ujung jilbabku. Kubiarkan pula angin mengibar-ngibarkan ujung lembaran buku di tanganku. Kubiarkan mataku menikmati kolam bundar, jalan beton Plaza Widya, ujung dedaunan yang melambai, orang-orang yang sedang berjalan, dan di kejauhan... kerumunan orang bermain basket dan kumpulan orang duduk-duduk di selasar Campus Center.

    Kuhela nafas panjang. Aku tak pernah benar-benar menyadari cintaku pada kampus ini, hingga hari ini. Mereka benar, inilah kampus terbaik yang Allah berikan padaku. Meskipun selama ini aku sering mengeluhkan ganasnya kampus ini, aku harus mengakui bahwa hatiku tertambat di sini. Di sinilah aku bertemu dengan orang-orang hebat, dan di sinilah aku belajar merenda kehidupan. Menikmati waktu-waktu terakhir yang semestinya tak akan lama lagi, membuatku mensyukuri banyak hal. You don’t know what you’ve got until it’s gone.

    -------------------------------------------------------------------------------------------------

    Fiuuhh... jenak-jenak perenungan itu benar-benar indah. Menginspirasi dan memberi pengingatan. Seperti kataku pada seorang teman: dengan begitu banyak cinta, aku tahu aku pasti bisa. Thanks to Allah atas setiap detik kehidupan yang berharga ini.

    We live in a free world
    I whistle down the wind
    Carry on smiling... and the world will smile with you

    Life is a flower
    So precious in your hand
    Carry on smiling... and the world will smile with you 

    ---
    Medio Desember 2005
    oleh Yustika
    13201137

    Kuliah Asyik

    Semester ini ada beberapa kuliah yang cukup asyik. Materinya seputar teknologi futuristik. Kuliah yang terkait sama materi ini adalah kuliah Dasar Intelegensia Artifisial dan Interaksi Komputer-Manusia. Sebenarnya nggak terlalu futuristik sih, toh perkembangan teknologi di bidang itu sudah cukup pesat. Hanya saja, perkembangannya memang masih belum menemukan titik jenuh alias progresnya masih berupa grafik menaik, sehingga bisa dikatakan dimensi teknologi ini masih memiliki banyak ruang imaji untuk dijelajahi dan diwujudkan.

    Seperti yang udah pernah kusinggung, teknologi ini berkaitan erat dengan dunia utopis seperti yang kita lihat di film-film futuristik. Pak Sony dan Pak Arry bahkan menerangkan kuliah sambil mengambil contoh kasus seperti film Time Trax, trilogi Matrix, AI-nya Steven Spielberg, atau I. Robot.-nya Will Smith. Kapan-kapan kita harus nonton bareng film-film itu, begitu kata mereka.

    Bukan tidak mungkin pada masa depan, komputer-komputer yang digunakan manusia tinggal seukuran kartu ATM. Di dalamnya sudah terintegrasi perangkat lunak dan perangkat keras sedemikian rupa yang tinggal dioperasikan manusia dengan teknologi text to speech dan speech recognition. Tampilannya pun sudah bukan lagi tampilan layar monitor, melainkan program hologram interaktif berwujud manusia. Keren banget.

    Sebuah revolusi relasi antara komputer dan manusia yang kini sedang mengalami perkembangan cukup signifikan adalah dunia cyborg. Cyborg, akronim dari cybernetic-organism, adalah perkawinan hibrid antara manusia dan mesin. Chris Abel Gray dalam Cyborgology: Constructing the Knowledge of Cybernetic Organisms mendefinisikan cyborg sebagai ”peleburan antara organik dan mesin, antara sistem daging yang mati dengan sirkuit yang tak mati, antara sistem sel-sel hidup dan artifisial”. Di dalam sistem cyborg, yang terbentuk bukan lagi partnership antara manusia dan mesin, melainkan simbiosis yang diatur oleh cybernetika. Melalui simbiosis tersebut, sistem organisme dapat meningkatkan berbagai kapasitas, kemampuan, kekuatan, memori, daya pikir, dan daya tahan.

    Eits, tapi jangan lantas berpikir cyborg cuma ada di Terminator, Bicentennial Man, atau I. Robot. Sekarang cyborg udah jadi bagian dari realitas sosial. Setiap orang yang memiliki organ, anggota badan, atau organ suplemen artifisial (misal: alat pacu jantung, contact lense, kacamata), setiap orang yang direprogram untuk mencegah penyakit (misal: diimunisasi), atau diberi obat untuk berpikir dan bertingkah laku (misal: psikofarmakologi), semuanya secara teknis adalah cyborg [berarti kita juga cyborg dong, hehehe...]. Sistem cyborg yang cukup ekstrem dengan menyambungkan organ artifisial (berupa mesin) dengan syaraf manusia juga sudah mulai dilakukan. Beberapa waktu lalu Pak Arry nonton Discovery Channel yang berkisah tentang penyambungan syaraf lengan manusia dengan tangan palsu berupa mesin robot, sehingga pada akhirnya tangan robot itu mampu digerakkan dengan syaraf-syaraf motorik yang terhubung ke otak.

    Sementara dari kuliah Dasar Intelegensia Artifisial aku belajar tentang tiga komponen intelegensia artifisial, yaitu fakta, kaidah, dan inferensi. Fakta adalah hal-hal yang dipersepsi dari lingkungan oleh sistem artifisial. Kaidah (rules) adalah daftar aksi-aksi yang bisa dilakukan oleh sistem artifisial. Keduanya menemukan hubungan yang harmonis dengan adanya inferensi (penalaran) yang berfungsi mempersepsi dan memilih aksi yang paling tepat untuk mencapai tujuan (goal). Jadi sejatinya, fungsi inferensi terkait seputar rule matching dan rule selection yang nantinya membentuk sequence of rules untuk mencapai tujuan.

    Namanya juga intelegensia artifisial: idenya datang dari usaha untuk meniru perilaku dan cara berpikir manusia. Pak Bambang bilang, setiap manusia memiliki sisi heuristik, yaitu cara berpikir yang efektif dan efisien dengan mengolah state awal yang ada guna mencapai state akhir yang diinginkan. Sisi heuristik inilah yang coba ditanamkan manusia kepada intelegensia artifisial, sehingga perangkat artifisial ini mampu belajar laiknya manusia. Heuristik itu sendiri sebenarnya merupakan ciri kecerdasan. Semakin canggih sistem heuristiknya, semakin cerdas pula intelegensianya. Jadi kalau ingin melihat seberapa cerdas seorang manusia, kita lihat saja dari kemampuan heuristiknya: gimana cara dia menyelesaikan masalah. Kalau caranya muter-muter nggak efektif dan nggak efisien, berarti dia nggak cerdas [itu sih semua orang juga tau, hehehe...].

    ---
    Medio September 2005
    oleh Yustika
    13201137

    Anak Komputer

    Beberapa waktu lalu, film Matrix kembali diputar di televisi. Seperti biasa, anak-anak kos langsung ngariung di ruang tengah. Ada yang nonton karena Keanu-nya, karena nggak ada kerjaan, atau karena emang pengen nonton. Kalau aku sih, emang suka film ini. Selain paling keren dibanding dua yang lain dari rangkaian triloginya, film ini membawa ide yang cukup kreatif dalam membangun konsep cerita.

    Habis nonton, anak-anak ramai berceloteh mengungkapkan persepsinya masing-masing tentang Matrix. Namanya juga persepsi, tentu sarat dengan subjektivitas. Hehe, obrolan tentang persepsi ini sebenarnya aku yang menyulut. Habis pengen tahu, sejauh apa anak-anak mengapresiasi film ini.

    Buatku, konsep Matrix nyambung sama kuliah Arsitektur Komputer. Analoginya bisa dijelaskan dengan cukup gamblang. Dunia matrix yang digambarkan dalam film merupakan interface antara dunia manusia dan dunia mesin. Dengan kode-kode digital yang melewati kanal-kanal informasi, manusia bisa berinteraksi dengan mesin. Jadi, diagramnya seperti ini: manusia <=> matrix sebagai interface <=> mesin. Nah, lalu Oracle yang dalam film digambarkan sebagai seorang wanita peramal, adalah operating system-nya. Makanya nggak aneh kalau dia serba tahu. Dia kan yang mengatur sistem interface-nya. Lalu, peran God (atau entah siapa disebutnya, pokoknya yang berjanggut dan berpakaian putih-putih) dalam Matrix Revolution bisa dianalogikan sebagai prosesornya, karena dia yang mengawasi, mengetahui, sekaligus memegang kendali seluruh sistem. Jadi selama ini, dalam mengapresiasi trilogi Matrix, aku memandangnya lewat kacamata yang kental dengan nuansa kuliah.

    Rupa-rupanya, ada temen yang sependapat denganku. Hanya saja, menurut dia Oracle itu bukan operating system, melainkan data base. Makanya dia serba tahu, karena emang dia bagian yang nyimpen segala informasi. Trus si God itu yang jadi operating system-nya. Dia nggak mungkin jadi prosesor, karena cara kerjanya nggak mutlak. Toh dalam satu adegan, dia memberi kesempatan pada Neo untuk memilih. Aku manggut-manggut. Kayaknya pendapat temenku ini lebih masuk akal daripada versiku. Okelah, aku setuju. Tapi kalau begitu, siapa yang jadi prosesornya? Bagian mana yang menganalogikan si prosesor? Hehe, aku malah jadi bertanya-tanya sendiri, belum bisa menemukan penjelasan yang tepat. Maklum, kuliah sistem mikroprosesor belum lulus-lulus juga nih.

    Di tengah perbincangan seru itu, ada juga temen yang garuk-garuk kepala. “Kok kalian mikirnya rumit gitu sih? Aku nggak pernah kepikir yang kayak gitu. Nonton mah nonton aja.” Hehe, namanya juga persepsi. Dalam hal ini, persepsiku cukup dipengaruhi oleh kuliah. Weiss, akhirnya ada juga aura-aura sebagai anak komputer :p

    ---
    Medio Agustus 2005
    oleh Yustika
    13201137

    Sigit Firmansyah: Sebuah Kepergian yang Begitu Tiba-Tiba

    Sabtu, 6 November 2004, pukul 07.30. Saya tengah berbincang santai dengan seorang teman di selasar depan tempat wudhu putri di Salman, sembari menunggu adik-adik mentor berkumpul. Tiba-tiba datang seorang teman lain dengan mata berkaca-kaca, “Teh, doakan ya. Semalam Kak Sigit Elektro meninggal…” Saya tertegun tak percaya. Ini lagi bercanda ya? Kok saya --yang nota bene sejurusan dengan Sigit-- tidak tahu?

    Sabtu, 6 November 2004, pukul 07.37. Ada sms masuk dari teman sejurusan saya, “Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. telah pulang ke hadapan Allah saudara kita Sigit F (EL ‘01) td mlm. mohon doakan beliau dan tolong sebarkan. jazakillah.” Tak kurang selama dua jam berikutnya, rentetan sms dengan kabar senada berebut masuk ke inbox saya. Saya semakin tertegun. Ini bukan main-main. Ini bukan bercanda. Lalu air mata saya menitik ketika seorang adik kelas sejurusan dengan serta merta memeluk saya begitu mendengar kabar serupa.

    Sabtu, 6 November 2004, pukul 14.30. Saya memandang rintik-rintik hujan di luar jendela bis yang tengah melaju menuju Brebes, kota kelahiran Sigit. Lintasan-lintasan kenangan menyeruak, membuncahkan rasa perih yang tak mampu saya lukiskan. Sementara rintik hujan semakin menderas, menderas pulalah air yang meloncati kedua pipi saya. Ada rasa tak percaya, ada rasa tak rela…

    “Yus, udah nyoblos?” kata Sigit mengingatkan ketika kami bertemu pada Senin, 1 November 2004, di tangga jurusan. Saya mengiyakan sambil lalu. Saat itu memang sedang masa pencoblosan pemilu Ketua HME. Tak pernah menyangka bahwa kalimat tersebut adalah kalimat terakhir yang saya dengar darinya. Hari itu juga, saat saya melihatnya di barisan jamaah shalat ashar di Salman, saya tak pernah menyangka pula, bahwa saat itu adalah saat terakhir kali saya melihatnya.

    Di mata saya, Sigit identik dengan pengingatan. Setiap detik darinya adalah pengingatan. Tiap kali bertemu, tak pernah lupa nasehatnya bertebaran menyejukkan, mengingatkan kami akan hakikat kehidupan. Bahkan saat pertemuan terakhir dengannya, ia masih saja mengingatkan saya agar tak kehilangan hak suara pada pemilu Ketua HME tahun ini. Ia seorang teman yang luar biasa, sekaligus rekan kerja yang hebat.

    Sabtu, 6 November 2004, pukul 18.15. Sebuah keluarga yang ramah dan sederhana menyambut saya dan teman-teman. Potret kesedihan tak terkira akibat kehilangan dua orang tersayang --Sigit dan ayahanda-- tampak jelas membayang ketika kami melangkah satu-satu memasuki rumah bercat putih itu. Sembari tergugu, ibunda Sigit menuturkan kisahnya kepada kami.

    Kepergian Sigit begitu istimewa. Malam sebelum ia pergi adalah malam ke-23 bulan Ramadhan. Menurut penuturan seorang teman yang menyertai perjalanannya, malam itu ia habiskan dengan tilawah Al Qur’an. Selepas subuh pada Sabtu, 6 November 2004, beberapa saat setelah sang ibunda menghampirinya di ruang ICU, Sigit menghembuskan nafas terakhir setelah mengucap, “Allah…” Bahkan sejak malam sebelumnya sampai saat kepergiannya, sang ibunda tak henti-hentinya mencium wangi bunga melati semerbak memenuhi udara…

    Kepulangan Sigit adalah jua untuk menuntaskan rindu sang ibunda. Tiga tahun di Taruna Nusantara dan tiga tahun menggeluti aktivitas kampus yang penuh dinamika, membuatnya senantiasa jauh dari rumah. Kepulangan demi kepulangan sering disinggahinya hanya sebentar, membuat sang ibunda tak bisa berlama-lama melepas rindu. Siapa menyangka, kepulangan kali ini adalah untuk yang terakhir kali. Seolah-olah ia berkata, “Sigit pulang, Bu. Dan nggak akan pergi-pergi lagi.”

    Sebuah pengingatan yang sangat berbekas di hati saya yang juga anak rantau, tentang sebuah aktivitas yang sering dianggap sepele: pulang. Jauh dari rumah, kita terlalu asyik berkutat dengan hal-hal yang kita anggap lebih penting. Sementara di rumah, orang tua --terutama ibunda-- sedang berkubang dalam kerinduan dan pengharapan akan sukses kita. Padahal tak kalah penting, kita meluangkan waktu sejenak untuk pulang, untuk kembali bergelung di pelukan ibunda. Selamanya kita tetap kanak-kanak ibunda. Biarkan binar-binar bahagianya menyambut kepulangan kita. Biarkan decak-decak gembiranya mendengarkan kisah-kisah kita. Biarkan lembut sayangnya membelai jiwa kita. Biarkan desah harunya memaknai kedewasaan kita. Maka pulanglah, sebelum tak ada lagi kesempatan buat kita untuk pulang, sebelum kepulangan itu tinggal kepulangan abadi.

    When every boat has sailed away
    And every path is marked and paved
    When every road has had its say
    Then I'll be bringing you back home to stay

    When every town looks just the same
    When every choice gets hard to make
    When every map is put away
    Then I'll be bringing you back home to stay

    Minggu, 7 November 2004, pukul 00.30. Bis yang saya tumpangi menggerung mendaki tanjakan dalam perjalanan kembali ke Bandung. Saya masih juga terisak, merasakan kepedihan atas kehilangan seorang kawan seperjuangan. Seharusnya tidak secepat ini ia pergi. Seharusnya ia masih di sini, merenda mimpi-mimpi bersama kami. Seharusnya masih banyak kebaikan yang mampu ia sebarkan pada semesta. Seharusnya canda garingnya masih merenyahkan tawa-tawa kami. Seharusnya masih banyak hal yang mampu ia tunaikan. Seharusnya… seharusnya… beribu kata ‘seharusnya’ menjejali benak saya, bercampur dengan basah air mata membuat saya pusing kepala.

    Rela tak rela, kami harus rela. Toh ia bukan milik kami. Toh ia milik Pencipta-nya. Ketidakpercayaan itu, ketidakrelaan itu… sedikit menguap ketika kami menyadari indah kepergiannya.

    Sigit Firmansyah. Nama yang akan lekat abadi dalam hati. Selamat jalan, Kawan. Masih jua tak percaya kau telah pergi. Berbahagialah, mungkin Allah telah menyiapkan untukmu seorang bidadari di surga-Nya…

    ---
    Medio November 2004
    oleh Yustika
    13201137
     

    About

    Kontributor kumpulan kisah dalam blog ini adalah Teknik Elektro ITB angkatan 2001. Dengan berbagai latar belakang, beraneka jenis program studi (lihat di "kategori kuliah"), dan pengalaman yang berbeda-beda, sampai detik ini kami masih terus disatukan dalam benang merah kehidupan lewat serangkaian obrolan di dunia maya, milis, maupun beberapa kali kopi darat.

    Site Info

    Blog ini dibuat sebagai bunga rampai untuk merangkum kisah dan pengalaman yang kadang terurai oleh jarak dan waktu. Sekaligus sebagai memorial dalam menyambut momen satu dasawarsa hadirnya Teknik Elektro ITB angkatan 2001.

    Text

    antologi kisah teknik elektro ITB 2001 Copyright © 2009 Community is Designed by Bie