Sunday, October 31, 2010

    Masa Depan yang Dijanjikan

    Kau percaya pada takdir ?

    Saya percaya.. dan takdirlah yang membawa saya duduk di sini, sebuah gerbong kereta api kelas bisnis. Saya duduk pas di pojokan dekat dengan kamar mandi/WC gerbong. Sesekali aroma tak sedap dari WC pun terpaksa saya hirup. Tapi itu tak mengurangi kegairahan dalam hati. Sebuah kegairahan yang muncul dari harapan akan masa depan cerah yang dijanjikan.

    Seminggu yang lampau, saya menemukan nama saya tertera di sebuah halaman koran lokal. Tulisannya kecil memang, tapi artinya sangat besar sekali. Bahkan, bagi seorang anak miskin seperti saya, itulah nafas terakhir untuk masa depan yang lebih baik. Tak ada arti lain. Saya diterima di sebuah perguruan tinggi teknik paling disegani di negeri ini.

    Karena itulah kini saya berada di gerbong yang pengap ini, gelisah duduk di kursi kereta yang sudah hampir kehilangan kelenturannya. Salah jika kau mengira saya tak menikmatinya. Kau tak tahu betapa bersyukurnya saya bisa berada di sini. Kau mungkin juga tak mengerti betapa pontang pantingnya saya hanya sekedar untuk mencari dana penebus tiket kereta ini. Tapi mungkin kau bisa membayangkan betapa antusiasme saya begitu membuncah. Nyaris saja saya ingin seperti seorang superhero, melompat dari kereta ini dan terbang sekencang-kencangnya agar segera bisa sampai di kota tujuan. Tapi apalah daya, saya harus menyabarkan diri mengikuti laju kereta ini, menempuh 13 jam perjalanan dari Surabaya ke Bandung.

    Mungkin takdir pula yang mengatur siapa yang duduk di sebelah saya. Bukan seorang dermawan kaya raya. Bukan pula seorang gadis remaja cantik jelita. Penampilannya kumal, rambutnya kusut masai, roman mukanya dipenuhi dengan jejak keletihan. Khas rakyat jelata, seperti saya. Jika ditanya satu persatu, mungkin beliau tak memiliki arti spesial apapun bagi para penghuni gerbong lainnya. Lalu, apa luar biasanya beliau? Bagi saya, beliau adalah bagian dari bonus luar biasa. Nama beliau adalah Pak Dadang dan beliau adalah seorang sopir angkutan kota jurusan Ledeng-Cicaheum, Bandung.

    Wajar jika kamu masih tak mengerti kenapa saya menganggap Pak Dadang adalah orang istimewa. Begini, kenyataannya, saya tak pernah membayangkan sama sekali jika saya harus berurusan dengan kota Bandung. Bahkan pemilihan perguruan tinggi pun cuma berdasar pada feeling. Suatu alasan yang sangat absurd untuk menentukan jalan masa depan. Tapi itulah kenyataannya. Saya sama sekali tak memiliki persiapan apapun. Saya bahkan tak tahu kota Bandung wujudnya seperti apa, apalagi membayangkan akan tinggal di mana nantinya. Satu-satunya hal yang bisa terpikir di otak saya kala itu adalah bagaimana bisa sampai di Bandung dengan selamat. Urusan tetek bengek lainnya, biar diurus nanti sajalah. Disinilah letak peran Pak Dadang. Dengan bersemangat, beliau menerangkan segala hal tentang kota Bandung, bahkan tanpa saya minta sekalipun. Saya sampai percaya bahwa semua sopir angkot di bandung seramah Pak Dadang. Ramai kami mengobrol hingga jauh larut malam. Saat Pak Dadang sudah nampak kelelahan sendiri, beliau pun pamit istirahat, sementara saya meneruskan lamunan. Saya bayangkan kota Bandung sesuai dengan cerita Pak Dadang, sambil tersenyum dan gelisah sendiri. Akhirnya, tanpa terasa saya pun tertidur sambil terduduk di kursi.

    Brakk..brak..brakkk...

    Saya terbangun dengan kaget mendengar suara-suara keras itu. Ada yang menggebrak-gebrak dinding luar kereta. Hari masih gelap. Jam tangan murahan saya menunjukkan waktu hampir jam setengah empat pagi. Rupanya belum lama juga saya tertidur. Ramai terdengar banyak suara anak kecil di luar kereta. Mereka meneriakkan permintaan sedekah uang, layaknya para pengemis. Saya pun dibuat terheran-heran dan sejenak kantuk pun menyingkir. Saya mengintip melalui jendela. Benar saja, ada beberapa anak kecil di luar sana. Usia mereka mungkin sekitar 5-13 tahun. Beberapa bahkan terlihat seperti para balita. Mereka berjalan sepanjang kereta yang berhenti. Tak hentinya menggebrak dinding kereta meminta perhatian, sambil meneriakkan permintaan sedekah uang.

    Siapa sebenarnya mereka? Anak-anak seperti apa yang mengemis di pagi buta begini? Anak-anak jalanan kah mereka? Orang tua macam apakah yang membiarkan anak-anak itu berkeliaran di pagi buta begini? Berbagai pertanyaan terlintas dalam pikiran saya. Kelak, baru saya mengetahui bahwa itulah cara hidup yang mereka jalani setiap harinya. Lebih disebabkan tuntutan hidup yang kadang menginginkan sesuatu untuk bisa bertahan dalam kerasnya kehidupan. Dan dunia kecil dalam gerbong kereta tersebut bagaikan dunia lain bagi mereka, perlambang kehidupan yang lebih baik dari yang mereka miliki. Tanpa terasa, saya ulurkan sejumlah kecil uang yang langsung mereka perebutkan. Anak yang berhasil merebut uang itu segera berlari dan tertawa gembira, sementara teman-temannya terlihat merengut dan tak rela. Sebagian kecil mengejar anak yang berlari itu, dan sebagian besar lainnya malah makin keras menggebrak dinding kereta di tempat saya duduk. Makin lama mereka makin banyak berkumpul meneriakkan tuntutan persamaan perlakuan pada saya. Tentu saja saya agak gugup karena tingkah mereka yang makin ramai. Apalagi, kegaduhan mereka berhasil membangunkan orang-orang di sekitar saya. Mereka memandang ke arah saya, seperti meminta penjelasan apa yang telah terjadi. Bukan ini yang saya harapkan. Untunglah Pak Dadang yang ikut terbangun segera membentak dan mengusir anak-anak itu. Kegaduhan pun mereda meski masih terdengar suara-suara mereka di bagian kereta yang lain. Pak Dadang dan yang lain pun meneruskan istirahat mereka yang terganggu.

    Saya kembali duduk tenang. Pikiran saya menerawang. Kalau dipikir-pikir, saya dan anak-anak tadi memiliki beberapa kesamaan. Kami sama-sama putra-putri negeri ini. Kami terlahir miskin dan karenanya harus berjuang setengah mati untuk sekedar didengar, diperhatikan, dan berebut sejumput kecil rejeki yang kami anggap sebagai masa depan. Bagi para orang miskin, arti masa depan mungkin tak lebih dari esok hari atau minggu depan. Saya merasa sangat beruntung karena saat itu, saya bagaikan anak kecil yang tadi berlari tertawa karena berhasil merebut uang yang saya berikan.

    Terbayang kembali apa yang telah saya lakukan bulan-bulan terakhir ini. Bagaimana saya yang miskin dan berotak pas-pasan ini harus setengah mati berjuang hanya sekedar untuk menghidupkan nyala api semangat untuk mendapatkan tempat mengasah otak di masa depan. Sudah sangat jamak di negeri ini tiap tahunnya, berjuta-juta remaja tanggung harus berjuang merebut jatah terbatas bangku kuliah di perguruan tinggi negeri yang konon bergengsi dan menjanjikan masa depan cemerlang itu. Saya pernah jadi bagian dari itu, meski rasanya sukar untuk melihat bagaimana saya bisa melewatinya. Di saat semua anak dipersenjatai dengan amunisi lengkap, buku paling update dan Lembaga Bimbingan Belajar paling bonafit, saya hanya bisa bersenjata sebuah buku bekas berisi kumpulan soal-soal tahun terdahulu. Itulah senjata utama yang tak pernah lepas dari sisi saya kemanapun berada, bahkan juga ketika berada di kamar mandi atau ketika berdesakan di pasar untuk membeli benang jahit pesanan Bapak.

    Semangat itu sempat meredup ditelan kekhawatiran akan biaya pendidikan yang jelas di luar jangkauan. Apalagi ketika orang tua terpaksa harus berterus terang dan menjelaskan posisi mereka yang tak memiliki banyak pilihan. Saya sempat merasa iri melihat teman-teman lain yang lebih ditunjang kemampuan finansial orang tuanya atau juga kepada kawan lain, sesama penghuni kasta orang-orang miskin namun dikaruniai otak brilian yang mengantarkan mereka pada tawaran PMDK dan beasiswa. Saya panik dan hampir saja menyerah. Untungnya, nasib saya sedikit terselamatkan oleh harapan dari beasiswa sebuah yayasan tersohor di negeri ini.

    Itu semua adalah proses yang terasa sangat ajaib bagi saya. Namun, hal yang paling ajaib adalah ketika saya harus menentukan pilihan tempat saya kuliah nanti. Sebenarnya, jauh-jauh hari, saya sudah memiliki pilihan sendiri yang saya dambakan sejak lama, jurusan informatika di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya. Pilihan itu bahkan telah saya buat saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, saat pertama kali mengenal benda bernama komputer dan langsung jatuh hati kepadanya. Saya hampir tak bisa membayangkan pilihan lain yang tersedia dan masuk akal untuk saya pilih.

    Saya tahu itu adalah pilihan yang sangat riskan. Statistika pilihan jurusan selama bertahun-tahun menunjukkan dengan jelas bahwa Informatika adalah jurusan paling favorit, sementara kemampuan saya sama sekali tak bisa digolongkan sebagai cemerlang. Jika ingin main sedikit aman, saya seharusnya memilih jurusan yang sedikit di bawah pilihan saya itu. Tapi saya pikir, kali itu saya harus nekat memilih apa yang sudah lama jadi dambaan itu. Itulah yang saya pikirkan hingga malam misterius itu tiba.

    Sebenarnya malam itu tak ubahnya malam-malam lainnya. Langit cerah, bintang tampak berkerlap-kerlip dan udara pengap khas kota kelahiran saya. Saya terduduk di sebuah kursi teras rumah tempat saya dan beberapa teman sedang belajar bersama. Di saat yang lain sedang serius memikirkan pelbagai rumus dan hafalan, saya malah asyik bercengkrama dengan pikiran saya sendiri.

    Saya mencoba memikirkan kembali pilihan-pilihan jurusan yang akan saya ambil. Formulir pendaftaran ujian sudah ada di tangan saya dan harus diserahkan keesokan harinya. Entah malaikat mana yang kebetulan lewat malam itu, tiba-tiba pikiran saya seperti tercerahkan. Dada saya berdebar bergemuruh tatkala pikiran saya mengerucut pada sebuah pilihan. Luar biasanya, pilihan itu bukan lagi pilihan yang saya dambakan sejak lama. Konyolnya lagi, pilihan itu adalah sebuah jurusan yang sejak lama saya cibir dan saya abaikan. Lebih daripada itu, perguruan tinggi yang saya pilih jauh melebihi rasio kenormalan. Passing grade dan persaingan memperebutkannya luar biasa tinggi, dan catatan prestasi saya jelas sangat mencerminkan betapa tidak kompetitifnya saya untuk masuk dalam kancah pertarungan. Bahkan siswa yang jauh lebih cemerlang dari saya pun tak berani sebodoh dan senekat itu.

    Beberapa teman dekat menunjukkan ketidaksetujuan terhadap pilihan saya. Dalam pandangan mereka, itu bukan hanya keputusan nekat tapi sudah seperti misi bunuh diri. Mereka menyarankan pada saya untuk memikirkan ulang keputusan tersebut. Tapi saya tetap bergeming. Itulah keputusan bulat saya dan itu pulalah yang tertulis dalam formulir pendaftaran yang saya serahkan keesokan harinya. Terbukti, wangsit misterius itu tak mengkhianati saya. Saya lulus dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri itu.

    Tak terasa saya tertidur kembali di tengah laju kereta yang berderap dan bergoncang-goncang. Sebuah tepukan dan panggilan membangunkan saya dari tidur. Rupanya petugas kereta yang bermaksud mengumpulkan bantal sewaan yang sedang saya pakai. Katanya, sebentar lagi kereta akan sampai di Bandung. Saya tengok jam tangan saya. Masih jam lima lewat sedikit. Saya bergegas ke kamar mandi kereta untuk mengambil air wudhu dan kemudian melaksanakan sholat shubuh sambil duduk di kursi. Setelahnya, saya memakai jaket lusuh model lama yang tergantung di sandaran kursi, hadiah tulus dari paman ketika dia tahu bahwa saya diterima di perguruan tinggi di Bandung.

    Hawa dingin menyengat tajam menandakan bahwa Bandung memang sudah dekat. Memikirkannya membuat aliran adrenalin terpompa di dalam tubuh dan memusnahkan segala rasa kantuk yang tersisa. Sisa waktu saya habiskan dengan mencoba mereka-reka kembali bayangan imajiner saya tentang kota Bandung dan mengira-ngira seperti apakah kehidupan perkuliahan saya nanti.

    Jarum jam menunjukkan waktu hampir jam enam pagi ketika kereta api Mutiara Selatan berhenti tepat di stasiun Hall kota Bandung. Saya pun turun dari kereta bersama dengan penumpang lainnya. Dada saya bergemuruh keras tatkala kaki menapak untuk pertama kali di tanah kota ini. Rupanya beginilah rasanya jika kita menggenggam keinginan. Masa depan saya sepertinya meloncat jauh ke depan, melampaui horizon bayangan. Sebagian menyebutnya sebagai mimpi. Bagi saya, itu adalah sebuah harapan. Harapan itu bernama Departemen Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung

    ---
    Farisol
    13201040

    Kuliah

    Suatu malam aku dan suamiku berbincang tentang masa-masa kuliah dan bernostalgia dengan kehidupan kampus, mengingat kami kuliah di tempat yang sama. Dia bercerita dengan penuh semangat tentang kawan-kawannya dan betapa mengasyikkannya studinya. Dia tampak begitu menikmati masa kuliahnya (nggak heran, dia lulus dengan predikat cum laude dan IPK 3.82 gitu lohh).

    Dalam banyak hal, aku dan suamiku sangat berbeda. Sifat, kepribadian, karakter, pola pikir, dan latar belakang kami jauh berbeda. Maha Suci Allah yang telah menyatukan kami dalam pernikahan, karena kadang aku masih saja terheran-heran dengan perbedaan kami. Tak terkecuali masa kuliah, juga sangat berbeda.

    Buatku, masa-masa kuliah adalah masa-masa terberat dalam hidupku selama ini. Aku seperti diingatkan tentang sebuah perjuangan dan luka yang ditimbulkan olehnya. Kehidupan kampus yang--menurutku--keras dan lingkungan pertemanan yang--menurutku--tidak bersahabat, membuat masa-masa kuliahku penuh dengan air mata, rendah diri, depresi, ketidaksukaan terhadap banyak hal (termasuk diriku sendiri), dan rasa pesimis yang luar biasa dalam memandang hidup. Saat itu perasaan dan self esteem-ku bagai berada di titik nadir. Yah, kau mungkin akan mengalami hal yang sama jika kau pernah ber-IP satu koma selama tiga semester berturut-turut, pernah mendapat surat peringatan tentang tenggang waktu DO, dan pernah dibanding-bandingkan oleh dosen wali dengan mahasiswa lain yang ber-IP nyaris empat! Tanpa pertolongan Allah, aku mungkin nggak akan pernah ”keluar hidup-hidup” dari sana. Tanpa pertolongan Allah, aku mungkin nggak akan pernah lulus sidang TA dan diwisuda.

    Tak terasa perbincangan kami malam itu membuat mataku berkaca-kaca. Bagaimana tidak, mengingat masa-masa sulit itu bagai menggarami luka yang belum kering. Semua kenangan buruk berkelebatan muncul dan menyesakkan dada.

    Maha Besar Allah yang memberi pencerahan. Kasih-Nya selalu menyertai. Kini aku masih berusaha--dan akan terus berusaha--bersikap positif, mensyukuri banyak hal, dan lebih menyayangi diri sendiri. Satu hal yang waktu itu aku lupa: aku selalu fokus pada kelemahan. Padahal itu justru akan mengalihkan perhatian dari kelebihan yang ada. Bersibuk-sibuk mengurusi hal-hal yang tidak tepat justru akan membuat hal-hal tepat menjadi tak terlihat.

    I have a great life. It’s so beautiful. What else could it be?

    ---
    Medio Oktober 2007
    oleh Yustika
    13201137

    Beristirahat dari Rutinitas

    [ditulis ketika sedang dalam masa perjuangan menyusun TA]

    Satu jam menjelang maghrib. Rintik hujan rapat-rapat turun ke bumi. Aku memilih berjalan kaki pulang dari tempat senam sampai ke rumah. Mencoba untuk mengistirahatkan motor dan menikmati sesuatu yang lain. Itu rute yang biasa, tapi pengalaman melewatinya berbeda. Ada banyak hal terlewat dari perjalananku di atas motor selama ini. Ternyata laju kencang motor membuatku terasing dari realita.

    Kubiarkan tetes air hujan yang selama ini tertangkis kaca helm, membasahi jilbab dan wajahku. Kubiarkan diriku memekik saat terciprat kubangan oleh kendaraan yang lewat. Kubiarkan kedua ujung sepatuku berjinjit satu-satu menapaki jalanan basah.

    Lalu kubiarkan mata ini menikmati kehidupan orang-orang. Bapak-bapak tukang ojek yang berbincang merapat di bawah atap warung, pemuda berambut basah yang berteriak membantu sopir angkot mendapatkan penumpang, abang-abang penjual kaki lima yang mengukus kue atau menggoreng penganan, ibu penjual bakso yang sedang sibuk berbicara sambil mengelap kaca gerobak bakso, pengendara motor yang tergesa berpacu dengan waktu, abang tukang tambal ban yang mendorong mesinnya di jalan, sampai anak-anak punk beranting-anting yang asyik bernyanyi dan memetik gitar... mereka menuturkan kisah hidupnya padaku. Masih sempat pula kuperhatikan detil-detil arsitektur beberapa bangunan yang selama ini menarik perhatianku, tapi tidak punya cukup waktu untuk kuamati.

    Setengah jam berjalan kaki telah membawaku melalui banyak hal. Begitu banyak energi, begitu banyak keindahan. Membuatku malu mengapa aku sering kehilangan energi untuk menjalani hidup.

    -------------------------------------------------------------------------------------------------

    Sore hari yang mendung dengan sedikit rintik membasahi. Angin bertiup pelan membawa semilir menyejukkan. Kuabaikan kebiasaan untuk bergegas pulang dari kampus, dan kuputuskan untuk sebentar bercengkerama dengan suasana. Di sini, di selasar TU Elektro, dua jam menjelang maghrib.

    Di balkon lantai dua ini, lampu-lampu sudah mulai dinyalakan dan aku duduk seorang diri. Kubiarkan angin mempermainkan ujung jilbabku. Kubiarkan pula angin mengibar-ngibarkan ujung lembaran buku di tanganku. Kubiarkan mataku menikmati kolam bundar, jalan beton Plaza Widya, ujung dedaunan yang melambai, orang-orang yang sedang berjalan, dan di kejauhan... kerumunan orang bermain basket dan kumpulan orang duduk-duduk di selasar Campus Center.

    Kuhela nafas panjang. Aku tak pernah benar-benar menyadari cintaku pada kampus ini, hingga hari ini. Mereka benar, inilah kampus terbaik yang Allah berikan padaku. Meskipun selama ini aku sering mengeluhkan ganasnya kampus ini, aku harus mengakui bahwa hatiku tertambat di sini. Di sinilah aku bertemu dengan orang-orang hebat, dan di sinilah aku belajar merenda kehidupan. Menikmati waktu-waktu terakhir yang semestinya tak akan lama lagi, membuatku mensyukuri banyak hal. You don’t know what you’ve got until it’s gone.

    -------------------------------------------------------------------------------------------------

    Fiuuhh... jenak-jenak perenungan itu benar-benar indah. Menginspirasi dan memberi pengingatan. Seperti kataku pada seorang teman: dengan begitu banyak cinta, aku tahu aku pasti bisa. Thanks to Allah atas setiap detik kehidupan yang berharga ini.

    We live in a free world
    I whistle down the wind
    Carry on smiling... and the world will smile with you

    Life is a flower
    So precious in your hand
    Carry on smiling... and the world will smile with you 

    ---
    Medio Desember 2005
    oleh Yustika
    13201137

    Kuliah Asyik

    Semester ini ada beberapa kuliah yang cukup asyik. Materinya seputar teknologi futuristik. Kuliah yang terkait sama materi ini adalah kuliah Dasar Intelegensia Artifisial dan Interaksi Komputer-Manusia. Sebenarnya nggak terlalu futuristik sih, toh perkembangan teknologi di bidang itu sudah cukup pesat. Hanya saja, perkembangannya memang masih belum menemukan titik jenuh alias progresnya masih berupa grafik menaik, sehingga bisa dikatakan dimensi teknologi ini masih memiliki banyak ruang imaji untuk dijelajahi dan diwujudkan.

    Seperti yang udah pernah kusinggung, teknologi ini berkaitan erat dengan dunia utopis seperti yang kita lihat di film-film futuristik. Pak Sony dan Pak Arry bahkan menerangkan kuliah sambil mengambil contoh kasus seperti film Time Trax, trilogi Matrix, AI-nya Steven Spielberg, atau I. Robot.-nya Will Smith. Kapan-kapan kita harus nonton bareng film-film itu, begitu kata mereka.

    Bukan tidak mungkin pada masa depan, komputer-komputer yang digunakan manusia tinggal seukuran kartu ATM. Di dalamnya sudah terintegrasi perangkat lunak dan perangkat keras sedemikian rupa yang tinggal dioperasikan manusia dengan teknologi text to speech dan speech recognition. Tampilannya pun sudah bukan lagi tampilan layar monitor, melainkan program hologram interaktif berwujud manusia. Keren banget.

    Sebuah revolusi relasi antara komputer dan manusia yang kini sedang mengalami perkembangan cukup signifikan adalah dunia cyborg. Cyborg, akronim dari cybernetic-organism, adalah perkawinan hibrid antara manusia dan mesin. Chris Abel Gray dalam Cyborgology: Constructing the Knowledge of Cybernetic Organisms mendefinisikan cyborg sebagai ”peleburan antara organik dan mesin, antara sistem daging yang mati dengan sirkuit yang tak mati, antara sistem sel-sel hidup dan artifisial”. Di dalam sistem cyborg, yang terbentuk bukan lagi partnership antara manusia dan mesin, melainkan simbiosis yang diatur oleh cybernetika. Melalui simbiosis tersebut, sistem organisme dapat meningkatkan berbagai kapasitas, kemampuan, kekuatan, memori, daya pikir, dan daya tahan.

    Eits, tapi jangan lantas berpikir cyborg cuma ada di Terminator, Bicentennial Man, atau I. Robot. Sekarang cyborg udah jadi bagian dari realitas sosial. Setiap orang yang memiliki organ, anggota badan, atau organ suplemen artifisial (misal: alat pacu jantung, contact lense, kacamata), setiap orang yang direprogram untuk mencegah penyakit (misal: diimunisasi), atau diberi obat untuk berpikir dan bertingkah laku (misal: psikofarmakologi), semuanya secara teknis adalah cyborg [berarti kita juga cyborg dong, hehehe...]. Sistem cyborg yang cukup ekstrem dengan menyambungkan organ artifisial (berupa mesin) dengan syaraf manusia juga sudah mulai dilakukan. Beberapa waktu lalu Pak Arry nonton Discovery Channel yang berkisah tentang penyambungan syaraf lengan manusia dengan tangan palsu berupa mesin robot, sehingga pada akhirnya tangan robot itu mampu digerakkan dengan syaraf-syaraf motorik yang terhubung ke otak.

    Sementara dari kuliah Dasar Intelegensia Artifisial aku belajar tentang tiga komponen intelegensia artifisial, yaitu fakta, kaidah, dan inferensi. Fakta adalah hal-hal yang dipersepsi dari lingkungan oleh sistem artifisial. Kaidah (rules) adalah daftar aksi-aksi yang bisa dilakukan oleh sistem artifisial. Keduanya menemukan hubungan yang harmonis dengan adanya inferensi (penalaran) yang berfungsi mempersepsi dan memilih aksi yang paling tepat untuk mencapai tujuan (goal). Jadi sejatinya, fungsi inferensi terkait seputar rule matching dan rule selection yang nantinya membentuk sequence of rules untuk mencapai tujuan.

    Namanya juga intelegensia artifisial: idenya datang dari usaha untuk meniru perilaku dan cara berpikir manusia. Pak Bambang bilang, setiap manusia memiliki sisi heuristik, yaitu cara berpikir yang efektif dan efisien dengan mengolah state awal yang ada guna mencapai state akhir yang diinginkan. Sisi heuristik inilah yang coba ditanamkan manusia kepada intelegensia artifisial, sehingga perangkat artifisial ini mampu belajar laiknya manusia. Heuristik itu sendiri sebenarnya merupakan ciri kecerdasan. Semakin canggih sistem heuristiknya, semakin cerdas pula intelegensianya. Jadi kalau ingin melihat seberapa cerdas seorang manusia, kita lihat saja dari kemampuan heuristiknya: gimana cara dia menyelesaikan masalah. Kalau caranya muter-muter nggak efektif dan nggak efisien, berarti dia nggak cerdas [itu sih semua orang juga tau, hehehe...].

    ---
    Medio September 2005
    oleh Yustika
    13201137

    Anak Komputer

    Beberapa waktu lalu, film Matrix kembali diputar di televisi. Seperti biasa, anak-anak kos langsung ngariung di ruang tengah. Ada yang nonton karena Keanu-nya, karena nggak ada kerjaan, atau karena emang pengen nonton. Kalau aku sih, emang suka film ini. Selain paling keren dibanding dua yang lain dari rangkaian triloginya, film ini membawa ide yang cukup kreatif dalam membangun konsep cerita.

    Habis nonton, anak-anak ramai berceloteh mengungkapkan persepsinya masing-masing tentang Matrix. Namanya juga persepsi, tentu sarat dengan subjektivitas. Hehe, obrolan tentang persepsi ini sebenarnya aku yang menyulut. Habis pengen tahu, sejauh apa anak-anak mengapresiasi film ini.

    Buatku, konsep Matrix nyambung sama kuliah Arsitektur Komputer. Analoginya bisa dijelaskan dengan cukup gamblang. Dunia matrix yang digambarkan dalam film merupakan interface antara dunia manusia dan dunia mesin. Dengan kode-kode digital yang melewati kanal-kanal informasi, manusia bisa berinteraksi dengan mesin. Jadi, diagramnya seperti ini: manusia <=> matrix sebagai interface <=> mesin. Nah, lalu Oracle yang dalam film digambarkan sebagai seorang wanita peramal, adalah operating system-nya. Makanya nggak aneh kalau dia serba tahu. Dia kan yang mengatur sistem interface-nya. Lalu, peran God (atau entah siapa disebutnya, pokoknya yang berjanggut dan berpakaian putih-putih) dalam Matrix Revolution bisa dianalogikan sebagai prosesornya, karena dia yang mengawasi, mengetahui, sekaligus memegang kendali seluruh sistem. Jadi selama ini, dalam mengapresiasi trilogi Matrix, aku memandangnya lewat kacamata yang kental dengan nuansa kuliah.

    Rupa-rupanya, ada temen yang sependapat denganku. Hanya saja, menurut dia Oracle itu bukan operating system, melainkan data base. Makanya dia serba tahu, karena emang dia bagian yang nyimpen segala informasi. Trus si God itu yang jadi operating system-nya. Dia nggak mungkin jadi prosesor, karena cara kerjanya nggak mutlak. Toh dalam satu adegan, dia memberi kesempatan pada Neo untuk memilih. Aku manggut-manggut. Kayaknya pendapat temenku ini lebih masuk akal daripada versiku. Okelah, aku setuju. Tapi kalau begitu, siapa yang jadi prosesornya? Bagian mana yang menganalogikan si prosesor? Hehe, aku malah jadi bertanya-tanya sendiri, belum bisa menemukan penjelasan yang tepat. Maklum, kuliah sistem mikroprosesor belum lulus-lulus juga nih.

    Di tengah perbincangan seru itu, ada juga temen yang garuk-garuk kepala. “Kok kalian mikirnya rumit gitu sih? Aku nggak pernah kepikir yang kayak gitu. Nonton mah nonton aja.” Hehe, namanya juga persepsi. Dalam hal ini, persepsiku cukup dipengaruhi oleh kuliah. Weiss, akhirnya ada juga aura-aura sebagai anak komputer :p

    ---
    Medio Agustus 2005
    oleh Yustika
    13201137

    Sigit Firmansyah: Sebuah Kepergian yang Begitu Tiba-Tiba

    Sabtu, 6 November 2004, pukul 07.30. Saya tengah berbincang santai dengan seorang teman di selasar depan tempat wudhu putri di Salman, sembari menunggu adik-adik mentor berkumpul. Tiba-tiba datang seorang teman lain dengan mata berkaca-kaca, “Teh, doakan ya. Semalam Kak Sigit Elektro meninggal…” Saya tertegun tak percaya. Ini lagi bercanda ya? Kok saya --yang nota bene sejurusan dengan Sigit-- tidak tahu?

    Sabtu, 6 November 2004, pukul 07.37. Ada sms masuk dari teman sejurusan saya, “Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. telah pulang ke hadapan Allah saudara kita Sigit F (EL ‘01) td mlm. mohon doakan beliau dan tolong sebarkan. jazakillah.” Tak kurang selama dua jam berikutnya, rentetan sms dengan kabar senada berebut masuk ke inbox saya. Saya semakin tertegun. Ini bukan main-main. Ini bukan bercanda. Lalu air mata saya menitik ketika seorang adik kelas sejurusan dengan serta merta memeluk saya begitu mendengar kabar serupa.

    Sabtu, 6 November 2004, pukul 14.30. Saya memandang rintik-rintik hujan di luar jendela bis yang tengah melaju menuju Brebes, kota kelahiran Sigit. Lintasan-lintasan kenangan menyeruak, membuncahkan rasa perih yang tak mampu saya lukiskan. Sementara rintik hujan semakin menderas, menderas pulalah air yang meloncati kedua pipi saya. Ada rasa tak percaya, ada rasa tak rela…

    “Yus, udah nyoblos?” kata Sigit mengingatkan ketika kami bertemu pada Senin, 1 November 2004, di tangga jurusan. Saya mengiyakan sambil lalu. Saat itu memang sedang masa pencoblosan pemilu Ketua HME. Tak pernah menyangka bahwa kalimat tersebut adalah kalimat terakhir yang saya dengar darinya. Hari itu juga, saat saya melihatnya di barisan jamaah shalat ashar di Salman, saya tak pernah menyangka pula, bahwa saat itu adalah saat terakhir kali saya melihatnya.

    Di mata saya, Sigit identik dengan pengingatan. Setiap detik darinya adalah pengingatan. Tiap kali bertemu, tak pernah lupa nasehatnya bertebaran menyejukkan, mengingatkan kami akan hakikat kehidupan. Bahkan saat pertemuan terakhir dengannya, ia masih saja mengingatkan saya agar tak kehilangan hak suara pada pemilu Ketua HME tahun ini. Ia seorang teman yang luar biasa, sekaligus rekan kerja yang hebat.

    Sabtu, 6 November 2004, pukul 18.15. Sebuah keluarga yang ramah dan sederhana menyambut saya dan teman-teman. Potret kesedihan tak terkira akibat kehilangan dua orang tersayang --Sigit dan ayahanda-- tampak jelas membayang ketika kami melangkah satu-satu memasuki rumah bercat putih itu. Sembari tergugu, ibunda Sigit menuturkan kisahnya kepada kami.

    Kepergian Sigit begitu istimewa. Malam sebelum ia pergi adalah malam ke-23 bulan Ramadhan. Menurut penuturan seorang teman yang menyertai perjalanannya, malam itu ia habiskan dengan tilawah Al Qur’an. Selepas subuh pada Sabtu, 6 November 2004, beberapa saat setelah sang ibunda menghampirinya di ruang ICU, Sigit menghembuskan nafas terakhir setelah mengucap, “Allah…” Bahkan sejak malam sebelumnya sampai saat kepergiannya, sang ibunda tak henti-hentinya mencium wangi bunga melati semerbak memenuhi udara…

    Kepulangan Sigit adalah jua untuk menuntaskan rindu sang ibunda. Tiga tahun di Taruna Nusantara dan tiga tahun menggeluti aktivitas kampus yang penuh dinamika, membuatnya senantiasa jauh dari rumah. Kepulangan demi kepulangan sering disinggahinya hanya sebentar, membuat sang ibunda tak bisa berlama-lama melepas rindu. Siapa menyangka, kepulangan kali ini adalah untuk yang terakhir kali. Seolah-olah ia berkata, “Sigit pulang, Bu. Dan nggak akan pergi-pergi lagi.”

    Sebuah pengingatan yang sangat berbekas di hati saya yang juga anak rantau, tentang sebuah aktivitas yang sering dianggap sepele: pulang. Jauh dari rumah, kita terlalu asyik berkutat dengan hal-hal yang kita anggap lebih penting. Sementara di rumah, orang tua --terutama ibunda-- sedang berkubang dalam kerinduan dan pengharapan akan sukses kita. Padahal tak kalah penting, kita meluangkan waktu sejenak untuk pulang, untuk kembali bergelung di pelukan ibunda. Selamanya kita tetap kanak-kanak ibunda. Biarkan binar-binar bahagianya menyambut kepulangan kita. Biarkan decak-decak gembiranya mendengarkan kisah-kisah kita. Biarkan lembut sayangnya membelai jiwa kita. Biarkan desah harunya memaknai kedewasaan kita. Maka pulanglah, sebelum tak ada lagi kesempatan buat kita untuk pulang, sebelum kepulangan itu tinggal kepulangan abadi.

    When every boat has sailed away
    And every path is marked and paved
    When every road has had its say
    Then I'll be bringing you back home to stay

    When every town looks just the same
    When every choice gets hard to make
    When every map is put away
    Then I'll be bringing you back home to stay

    Minggu, 7 November 2004, pukul 00.30. Bis yang saya tumpangi menggerung mendaki tanjakan dalam perjalanan kembali ke Bandung. Saya masih juga terisak, merasakan kepedihan atas kehilangan seorang kawan seperjuangan. Seharusnya tidak secepat ini ia pergi. Seharusnya ia masih di sini, merenda mimpi-mimpi bersama kami. Seharusnya masih banyak kebaikan yang mampu ia sebarkan pada semesta. Seharusnya canda garingnya masih merenyahkan tawa-tawa kami. Seharusnya masih banyak hal yang mampu ia tunaikan. Seharusnya… seharusnya… beribu kata ‘seharusnya’ menjejali benak saya, bercampur dengan basah air mata membuat saya pusing kepala.

    Rela tak rela, kami harus rela. Toh ia bukan milik kami. Toh ia milik Pencipta-nya. Ketidakpercayaan itu, ketidakrelaan itu… sedikit menguap ketika kami menyadari indah kepergiannya.

    Sigit Firmansyah. Nama yang akan lekat abadi dalam hati. Selamat jalan, Kawan. Masih jua tak percaya kau telah pergi. Berbahagialah, mungkin Allah telah menyiapkan untukmu seorang bidadari di surga-Nya…

    ---
    Medio November 2004
    oleh Yustika
    13201137
     

    About

    Kontributor kumpulan kisah dalam blog ini adalah Teknik Elektro ITB angkatan 2001. Dengan berbagai latar belakang, beraneka jenis program studi (lihat di "kategori kuliah"), dan pengalaman yang berbeda-beda, sampai detik ini kami masih terus disatukan dalam benang merah kehidupan lewat serangkaian obrolan di dunia maya, milis, maupun beberapa kali kopi darat.

    Site Info

    Blog ini dibuat sebagai bunga rampai untuk merangkum kisah dan pengalaman yang kadang terurai oleh jarak dan waktu. Sekaligus sebagai memorial dalam menyambut momen satu dasawarsa hadirnya Teknik Elektro ITB angkatan 2001.

    Text

    antologi kisah teknik elektro ITB 2001 Copyright © 2009 Community is Designed by Bie