Thursday, May 19, 2011

    LK - Cerita 2 : Dosen-dosen yang membuat gua gak pernah masuk

    1. Asisten Dosen Dimitri Mahayana : Sinyal dan Sistem. (no need to say a name)
    Dosen yang satu ini cuma datang 1x pas awal kuliah, sisanya digantiin oleh asistennya ini. Udah gak inget kenapa sebabnya, yang pasti jadinya gak pernah ikut lagi kuliah ini sampai dapet nilai T.
    Saking malesnya, bahkan tugas yang harus dilengkapi pun gak dikerjain alhasil jadilah nilai E pertama di elektro.

    Semester depannya, pas mau ngambil Sinsis lagi, ternyata cuma ada satu kelas yang dosennya Dimitri. Tanpa mikir dua kali langsung postpone ngambil sinsis taun depannya.

    Dengan frekuensi masuk yang sedikit lebih banyak, nilai B dikantongin.

    2. Dosen bahasa inggris T-18
    Lupa namanya siapa, lagipula gak pernah masuk gimana mau inget:D:D:D.
    Alesannya cukup simple, kuliahnya itu dimulai jam 7 pagi dengan toleransi keterlambatan 15 menit.
    Dia pikir semua mahasiswa elektro itu rajin-rajin kali ya? sebagai orang yang tidak pernah datang ke kampus lebih cepat dari 07:30, jelas kan? Sementara orang lain semester pendek buat pelajaran mafiki, gua semester pendek bahasa inggris gara-gara dapet D. Hina bener (lebih terhina lagi pas masuk kelas SP, astaga...beneran parah-parah yang ngulang bahasa inggris ini). Easily got A.

    3. Pak Sugi : Pengantar Biomedika.
    I love the lecture and subject, really. Tapi pas banget aku lagi hobi-hobinya maen bridge. banyak ikut turnamen, kejurnas, seleksi timnas. Dengan ringan hati, terpaksalah ninggalin kuliah beberapa bulan berturut-turut.
    Tanpa ampun, diberilah nilai D di nilai tingkat 4. Semester depannya insyaf (dengan alasan personal, will be told later) dan ngambil kuliah ini. Dapet A atau B (lupa)


    4. Ibu xxx, Dosen Pengolahan Sinyal Digital. (bukan sensor, tapi gak inget namanya)

    Diawali dengan dia bolos (ijin) ngajar 1 bulan awal. Males kan, nungguin kelas tapi dosennya gak pernah datang. Sebagai tindakan balas dendam, aku bales dengan gak pernah datang sampai akhir semester.
    Nilainya? dapet A, wkwkkwwk. karena UASnya itu satu soal dari a sampai o atau p. Anehnya, gua udah ngerjain soal yang sama persis (beda angka doang) seminggu sebelumnya di mata kuliah lain (?!?!).


    - Lucky K -

    LK - Cerita 1 : Dosen-dosen yang bisa membuat gua gak bolos.

    1. Budi Rahardjo : Supervisor TA; Sistem Digital.

    Satu-satunya dosen yang gua rajin hadir di kelas dan rasanya gak pernah bolos. Sebagai mahasiswa dengan <25% tingkat kehadiran selama di EL-ITB, ini merupakan prestasi yang seharusnya cukup membuat beliau bangga.

    Blak-blakan gak pake basa basi, frontal, kritis dan mengagumkan. Kadang-kadang kagum seberapa besar kapabilitas yang dia punya sebagai dosen, pengusaha dan kepala keluarga.

    Susah ditemui dikampus, bahkan lebih gampang YM-an atau ngirim email buat ngebahas skripsi. Tapi selalu berdedikasi untuk ngajar, bahkan minta maaf kalau gak bisa ngajar (dan minta kuliah pengganti di hari lain!!!!)


    2. Sony (Kusprasapta Mutijarsa???) - Sistem Komputer.

    Rasanya hampir gak pernah bolos. Entah kenapa rasanya pelajarannya selalu menarik.
    Mungkin juga alesan rajin ke kelasnya bukan cuma karena pinter ngajar, tapi kuliah-kuliah elektro yang membuat gua tertarik itu yang ada hubungannya dengan angka 0 atau 1.

    3. Nathanael Tandean(?) - Dosen Mesin - Termodinamika

    Kayanya dosen terakhir yang membuat gua pengen masuk kelas itu pak Nathanael.
    Tidak melihat suatu kelebihan menonjol dalam diri dosen ini. Rasanya cuma kharismanya yang membuat segan untuk bolos.
    Mengajarnya cukup jelas, dan dia juga jarang bolos ngajar.

    Believe it or not, gampang ternyata dapet nilai bagus.
    Cukup pengen masuk kelas dan merasa kuliahnya menarik.

    - Lucky K -

    Monday, May 9, 2011

    My mind, my thoughts, my realm

    Sigit "something" (gua lupa nama belakangnya. Priyanggoro kalo gak salah). EL 2001 yang pertama gua temui. Gak sengaja ketemu waktu sedang mencari kost-kost-an di daerah Balubur. Sampai skrg gua lupa dia orangnya yang mana.
    -Masa Pendaftaran


    Michael Albert Koowara. Orang yang pertama kali ngajak ngobrol gua se El 01. Se ITB. Se-Bandung. Walaupun dia bareng-bareng sama temen-temennya, anak SMA 8 Jakarta, dia masih sempat mengajak ngobrol gua. Dari mana? SMA mana? Alhasil NIM gua 110 dan Mike 111. 10 tahun kemudian Mike tetep baik dan masih menjadi salah satu Sahabat gua.
    -Mengantri Pendaftaran di Rektorat

    Ratna Dewanda. Ha?!! Nih anak Kartun banget sih pembawaannya. Sampai akhirnya gua mendengar curhatan dia akan Bangsa Indonesia. Gila. Visioner.
    -MOS

    Awin Puruhita. Gila nih anak Pinter banget. Sampai suatu saat gua menanyakan tips membeli komputer. Dari jawabannya gua sadar nih anak bukan cuma pinter tapi juga bijaksana.
    -TPB

    Jusuf Hendra Kusuma Zoulba, mewakili alumni Tarnus lainnya. Gila anak-anak Tarnus udah Pinter, Atletis, Berjiwa Pemimpin, Dewasa pula. Sampai akhirnya gua ketemu Wisnu (MS '01), ternyata Tarnus punya produk gagal juga. Hahahahahaaha.
    -TPB

    Fatin Tania. Gila nih cewek cantik. Koq bisa cewek cantik masuk Elektro. Suaranya bagus pula. Bahasa Inggris-nya keren banget. Eit, gua gak mau kalah. Gua harus pura-pura lebih OK. Padahal caur. Gila.
    -TPB, Audisi Band

    Wisnu Gede. Anak ini gede banget yah. Tajir pula. Pembicaraannya seputar seks bebas dan kondom rasa buah-buahan. Gile gua bilang. Eit, tapi gua gak boleh norak. Pura-pura aja gahol.
    -TPB, masa mengenal kawan

    M. Arief Nugroho. Cupu. Apalagi kalo berhadapan sama cewek. Sampai sekarang masih cupu. Hahahaha. Tapi gua denger-denger dia sekarang udah punya cewek. Wah.. Manstab.
    -TPB, Alpina 11

    Sabra Alfajri. Kacau!! Sampai sekarang masih kacau!! Hahahahaha.
    -TPB, Alpina 11

    Ragil Putro Wicaksono. Sumpah berkali-kali diajarin kalkulus, fisika dan lain-lain. Gua masih gak pernah mengerti.
    Tapi nih anak pinter banget dah.
    -TPB, Ujian

    Danlap "siapa namanya". Gile suaranya menggelegar. Kayak guntur. Serem banget.
    Danlap Simalango, gua rasa nih orang cerdas.
    Danlap Johan. Kikikikikikik. Gak jelas dah nih orang ngomong apa.
    -TPB, Ospek Jurusan.

    Iwa Kustiwa. Ketua angkatan. Tidak banyak berkesan. Hehehee.
    -TPB, Ospek Jurusan.

    Mahmud Santoso. Nih anak cari perhatian abis. Hahahaha. Makin lama nih anak makin lucu. Tapi koq dia pede banget yah. Oh.. ternyata aslinya dia angkatan 99. Pantes aja kayak dewasa gitu orangnya.
    -TPB, Ospek Jurusan.

    Jeffrey Bonar. Casio. Nih orang beneran cepet bener ngitungnya. Katanya sih dia paling tinggi nilai UMPTN-nya. IP-nya 4 juga. Gile. Ternyata orangnya rendah hati sekali.
    -TPB, Ospek Jurusan.

    I Ketut. Nih orang super oportunis habis. Kemudian gua mendengar kisah tentang keluarganya. Hmm... gua bisa mengerti kenapa dia melakukan semua itu. Salut. Angkat topi. Dia melakukan segalanya untuk keluarganya.
    -TPB, Ospek Jurusan

    Dhata Praditya. Nih anak kecil-kecil pernah macarin Fatin. Beneran gak sih. He's growing. His mind getting bigger. He is a good guy. Every girl deserve him.
    -TPB, Ospek Jurusan

    Desiree Abdurachim. Ini orang udah pinter jago maen piano klasik pula. Maaak... orang-orang di ITB super-super banget sih. Salah masuk gua.
    -TPB, PSM

    Widyasari Ismail. Nih anak childish banget gayanya. Tapi maen Pianonya. Gile. Keren banget. Jazz abis. Dan dia itu ternyata enak sekali diajak diskusi tentang hal-hal teknis. Apalagi gaya bawa mobilnya. F1 benerr.
    -TPB, PSM

    Rama Aulianagara. Suaranya toa banget. Super gede. Gua kira orang Batak aja yang suaranya segede gitu. Ternyata orang Sunda juga. Orangnya caur banget lagi. Walaupun sampe sekarang gua masih kurang mengerti di mana letak kelucuannya. Hahahaha.
    TPB, T23

    Yustika Kurniati. Nih cewek pendiem banget. Kayak autis gitu, hidup di dunia sendiri. Sampai akhirnya gua ternyata tahu dia maniak bola. Dan setelah gua baca tulisan-tulisannya. Satu hal: Don't judge book by its cover.
    -TPB, T23

    Citra Maimun Sari. Kayaknya nih cewek suka ama Juzuf deh. Tapi kayakya bertepuk sebelah tangan deh.
    -TPB, T23

    Hamzah Sinaga. Cool abis. Hidup kayak tanpa masalah.
    -TPB, T23.

    Rina Nurliana. Anjis, nih anak nyebelin bener. Ngomongnya tinggi banget. Ribet and complicated. Sampai akhirnya kami masuk satu lab. Dan nih anak jadi one of my best friend di EL. Nyambung dengan konektivitas tinggi.
    -Tingkat 2

    Dasar Teknik Elektro. Gua dapet E. Matilah. E pertama gua. Gua menghadapinya dengan tertawa. Secara semua orang E. Sampe sekarang gua gak ngerti apa tuh maksud kuliah itu.
    -Tingkat 2.

    Energi Konversi. Gua dapet A. Dan pertama kalinya gua mengalahkan master-master itu. Mereka dapet C atau B. Desire dapet B dan dia kesal banget di Sekre PSM. Kikikikikikik. Gua pura-pura menenangkan dia padalan dalam hati sedikit bahagia. Hahahaha. Bagi nilainya kayaknya di undi tuh.
    -Tingkat 2.

    Sin William Senjaya. Nih anak beneran autis. Sampai akhirnya dia bilang dia menganggap gua one of his bestfriend. Oh my.. gua flattered and scared at the same time. Hahahahahaha.
    -Tingkat 2

    Wisnu "gua lupa nama belakangnya". Orang-orang memanggil dia Wisnu ganteng. Setelah pengalaman JKT-BDG berdua, gua pikir nih orang pikirannya luas banget. Sampai akhirnya gua menyaksikan sendiri secara live dia menyanyikan "Indonesia Raya" di suatu kata sambutan. Semuanya berubah. Menurut gua nih orang has his own madness.
    -Tingkat 2

    Rumano Amos Simanjuntak. Kami bareng-bareng menciptakan lagu tentang STPDN. Sampai sekarang masih bareng-bareng walau berada di kota yang berbeda.
    -Tingkat 2, Kepengurusan HME

    Syaiful Anam. Gua gak mengerti kenapa orang-orang bilang dia Pemimpin yang berkharisma. Sampai sekarang gua gak mengerti. Kalau garing iya. Haah.. mungkin gua aja yang terlalu bodoh untuk menyadari pemimpin yang baik itu seperti apa.
    -Tingkat 2, Kepengurusan HME

    Sigit Firmansyah. Gak terlalu suka sama pembawaannya sebenaranya. But I really do miss him, even 'till now.
    -Tingkat 2, EL 2001 berduka.

    Mirza Arzialdy. Kekinian banget. Orangnya spontan dan idenya ada aja. Kreatif. Sampai sekarang juga begitu.
    -Tingkat 3, Panitia Dies.

    Rindu Cintani. Tadinya gua pikir nih cewek sombong. Ternyata dia ancur banget.
    -Kuliah Kerja, Bali.

    Purwoko Adi Wibowo. Nih anak pinter banget. Tapi emosional sekali.
    -Tingkat 4, Alpina 11

    Victor Iman Tuahta. Adik sehari gua.
    Johan Batubara. Adih sehari gua juga. Mereka sama.
    -Tingkat 4, PMK

    Hendrawan. Nih dosen akhirnya berhasil membuat gua menyukai Elektro. Hahahaaha.
    -Tingkat 4, Tugas Akhir.

    Yeni Nurizati. Waah.. dia teman yang asyik sekali.
    -Varindo, 2006

    Indra Gunawan. Jadi teman baik setelah di Ericsson. Sekarang dia melanglang buana entah kemana.
    -Ericsson, 2008

    Daniel Rifael Simarmata. Pengusaha sejati!!!
    -Ericsson, 2009

    Happy 10th anniversary guys, 2011. Wish you all and your family for blessings from Divine God.

    Friday, November 5, 2010

    Cinta Electric Machinery

    Empat bulan telah berlalu
    sejak kau bangkitkan tegangan dalam sanubariku
    sinusoidal murni tanpa harmonisa
    mengeksitasi seluruh jiwa raga


    kehadiranmu menciptakan hysteresis dalam sukmaku
    tak bisa hilang meski kualirkan arus DC melalui belitan hatiku
    Menginduksi stator inspirasiku
    Menggerakkan rotor semangatku


    pandangan matamu
    tajam menembus inti besiku
    meng-overspeed kecepatan jantungku
    mengosilasi frekuensi debaranku


    Langkah kakimu
    mengalun indah bagai dengungan motor asinkronku
    bergerak sinkron dengan aliran darahku
    meratakan seluruh tegangan AC dalam urat nadiku


    senyumanmu
    seseksi trafo AVR-ku
    langsung membuat swing hatiku
    dan meredam seluruh gerakan tubuhku


    Tapi kini kau tak pernah datang lagi
    membuat hubungan ward-leonard kita jadi tak berarti
    hidupku terasa sepi sendiri
    tanpa ada riak-riak eddy current yang menelusup ke dalam hati


    salam untukmu wahai wanita yang mengurai lilitan jiwa
    Kan kusimpan memori ini dalam slot-slot kenangan terindah
    selamanya….


    -by fekop-

    Sunday, October 31, 2010

    Masa Depan yang Dijanjikan

    Kau percaya pada takdir ?

    Saya percaya.. dan takdirlah yang membawa saya duduk di sini, sebuah gerbong kereta api kelas bisnis. Saya duduk pas di pojokan dekat dengan kamar mandi/WC gerbong. Sesekali aroma tak sedap dari WC pun terpaksa saya hirup. Tapi itu tak mengurangi kegairahan dalam hati. Sebuah kegairahan yang muncul dari harapan akan masa depan cerah yang dijanjikan.

    Seminggu yang lampau, saya menemukan nama saya tertera di sebuah halaman koran lokal. Tulisannya kecil memang, tapi artinya sangat besar sekali. Bahkan, bagi seorang anak miskin seperti saya, itulah nafas terakhir untuk masa depan yang lebih baik. Tak ada arti lain. Saya diterima di sebuah perguruan tinggi teknik paling disegani di negeri ini.

    Karena itulah kini saya berada di gerbong yang pengap ini, gelisah duduk di kursi kereta yang sudah hampir kehilangan kelenturannya. Salah jika kau mengira saya tak menikmatinya. Kau tak tahu betapa bersyukurnya saya bisa berada di sini. Kau mungkin juga tak mengerti betapa pontang pantingnya saya hanya sekedar untuk mencari dana penebus tiket kereta ini. Tapi mungkin kau bisa membayangkan betapa antusiasme saya begitu membuncah. Nyaris saja saya ingin seperti seorang superhero, melompat dari kereta ini dan terbang sekencang-kencangnya agar segera bisa sampai di kota tujuan. Tapi apalah daya, saya harus menyabarkan diri mengikuti laju kereta ini, menempuh 13 jam perjalanan dari Surabaya ke Bandung.

    Mungkin takdir pula yang mengatur siapa yang duduk di sebelah saya. Bukan seorang dermawan kaya raya. Bukan pula seorang gadis remaja cantik jelita. Penampilannya kumal, rambutnya kusut masai, roman mukanya dipenuhi dengan jejak keletihan. Khas rakyat jelata, seperti saya. Jika ditanya satu persatu, mungkin beliau tak memiliki arti spesial apapun bagi para penghuni gerbong lainnya. Lalu, apa luar biasanya beliau? Bagi saya, beliau adalah bagian dari bonus luar biasa. Nama beliau adalah Pak Dadang dan beliau adalah seorang sopir angkutan kota jurusan Ledeng-Cicaheum, Bandung.

    Wajar jika kamu masih tak mengerti kenapa saya menganggap Pak Dadang adalah orang istimewa. Begini, kenyataannya, saya tak pernah membayangkan sama sekali jika saya harus berurusan dengan kota Bandung. Bahkan pemilihan perguruan tinggi pun cuma berdasar pada feeling. Suatu alasan yang sangat absurd untuk menentukan jalan masa depan. Tapi itulah kenyataannya. Saya sama sekali tak memiliki persiapan apapun. Saya bahkan tak tahu kota Bandung wujudnya seperti apa, apalagi membayangkan akan tinggal di mana nantinya. Satu-satunya hal yang bisa terpikir di otak saya kala itu adalah bagaimana bisa sampai di Bandung dengan selamat. Urusan tetek bengek lainnya, biar diurus nanti sajalah. Disinilah letak peran Pak Dadang. Dengan bersemangat, beliau menerangkan segala hal tentang kota Bandung, bahkan tanpa saya minta sekalipun. Saya sampai percaya bahwa semua sopir angkot di bandung seramah Pak Dadang. Ramai kami mengobrol hingga jauh larut malam. Saat Pak Dadang sudah nampak kelelahan sendiri, beliau pun pamit istirahat, sementara saya meneruskan lamunan. Saya bayangkan kota Bandung sesuai dengan cerita Pak Dadang, sambil tersenyum dan gelisah sendiri. Akhirnya, tanpa terasa saya pun tertidur sambil terduduk di kursi.

    Brakk..brak..brakkk...

    Saya terbangun dengan kaget mendengar suara-suara keras itu. Ada yang menggebrak-gebrak dinding luar kereta. Hari masih gelap. Jam tangan murahan saya menunjukkan waktu hampir jam setengah empat pagi. Rupanya belum lama juga saya tertidur. Ramai terdengar banyak suara anak kecil di luar kereta. Mereka meneriakkan permintaan sedekah uang, layaknya para pengemis. Saya pun dibuat terheran-heran dan sejenak kantuk pun menyingkir. Saya mengintip melalui jendela. Benar saja, ada beberapa anak kecil di luar sana. Usia mereka mungkin sekitar 5-13 tahun. Beberapa bahkan terlihat seperti para balita. Mereka berjalan sepanjang kereta yang berhenti. Tak hentinya menggebrak dinding kereta meminta perhatian, sambil meneriakkan permintaan sedekah uang.

    Siapa sebenarnya mereka? Anak-anak seperti apa yang mengemis di pagi buta begini? Anak-anak jalanan kah mereka? Orang tua macam apakah yang membiarkan anak-anak itu berkeliaran di pagi buta begini? Berbagai pertanyaan terlintas dalam pikiran saya. Kelak, baru saya mengetahui bahwa itulah cara hidup yang mereka jalani setiap harinya. Lebih disebabkan tuntutan hidup yang kadang menginginkan sesuatu untuk bisa bertahan dalam kerasnya kehidupan. Dan dunia kecil dalam gerbong kereta tersebut bagaikan dunia lain bagi mereka, perlambang kehidupan yang lebih baik dari yang mereka miliki. Tanpa terasa, saya ulurkan sejumlah kecil uang yang langsung mereka perebutkan. Anak yang berhasil merebut uang itu segera berlari dan tertawa gembira, sementara teman-temannya terlihat merengut dan tak rela. Sebagian kecil mengejar anak yang berlari itu, dan sebagian besar lainnya malah makin keras menggebrak dinding kereta di tempat saya duduk. Makin lama mereka makin banyak berkumpul meneriakkan tuntutan persamaan perlakuan pada saya. Tentu saja saya agak gugup karena tingkah mereka yang makin ramai. Apalagi, kegaduhan mereka berhasil membangunkan orang-orang di sekitar saya. Mereka memandang ke arah saya, seperti meminta penjelasan apa yang telah terjadi. Bukan ini yang saya harapkan. Untunglah Pak Dadang yang ikut terbangun segera membentak dan mengusir anak-anak itu. Kegaduhan pun mereda meski masih terdengar suara-suara mereka di bagian kereta yang lain. Pak Dadang dan yang lain pun meneruskan istirahat mereka yang terganggu.

    Saya kembali duduk tenang. Pikiran saya menerawang. Kalau dipikir-pikir, saya dan anak-anak tadi memiliki beberapa kesamaan. Kami sama-sama putra-putri negeri ini. Kami terlahir miskin dan karenanya harus berjuang setengah mati untuk sekedar didengar, diperhatikan, dan berebut sejumput kecil rejeki yang kami anggap sebagai masa depan. Bagi para orang miskin, arti masa depan mungkin tak lebih dari esok hari atau minggu depan. Saya merasa sangat beruntung karena saat itu, saya bagaikan anak kecil yang tadi berlari tertawa karena berhasil merebut uang yang saya berikan.

    Terbayang kembali apa yang telah saya lakukan bulan-bulan terakhir ini. Bagaimana saya yang miskin dan berotak pas-pasan ini harus setengah mati berjuang hanya sekedar untuk menghidupkan nyala api semangat untuk mendapatkan tempat mengasah otak di masa depan. Sudah sangat jamak di negeri ini tiap tahunnya, berjuta-juta remaja tanggung harus berjuang merebut jatah terbatas bangku kuliah di perguruan tinggi negeri yang konon bergengsi dan menjanjikan masa depan cemerlang itu. Saya pernah jadi bagian dari itu, meski rasanya sukar untuk melihat bagaimana saya bisa melewatinya. Di saat semua anak dipersenjatai dengan amunisi lengkap, buku paling update dan Lembaga Bimbingan Belajar paling bonafit, saya hanya bisa bersenjata sebuah buku bekas berisi kumpulan soal-soal tahun terdahulu. Itulah senjata utama yang tak pernah lepas dari sisi saya kemanapun berada, bahkan juga ketika berada di kamar mandi atau ketika berdesakan di pasar untuk membeli benang jahit pesanan Bapak.

    Semangat itu sempat meredup ditelan kekhawatiran akan biaya pendidikan yang jelas di luar jangkauan. Apalagi ketika orang tua terpaksa harus berterus terang dan menjelaskan posisi mereka yang tak memiliki banyak pilihan. Saya sempat merasa iri melihat teman-teman lain yang lebih ditunjang kemampuan finansial orang tuanya atau juga kepada kawan lain, sesama penghuni kasta orang-orang miskin namun dikaruniai otak brilian yang mengantarkan mereka pada tawaran PMDK dan beasiswa. Saya panik dan hampir saja menyerah. Untungnya, nasib saya sedikit terselamatkan oleh harapan dari beasiswa sebuah yayasan tersohor di negeri ini.

    Itu semua adalah proses yang terasa sangat ajaib bagi saya. Namun, hal yang paling ajaib adalah ketika saya harus menentukan pilihan tempat saya kuliah nanti. Sebenarnya, jauh-jauh hari, saya sudah memiliki pilihan sendiri yang saya dambakan sejak lama, jurusan informatika di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya. Pilihan itu bahkan telah saya buat saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, saat pertama kali mengenal benda bernama komputer dan langsung jatuh hati kepadanya. Saya hampir tak bisa membayangkan pilihan lain yang tersedia dan masuk akal untuk saya pilih.

    Saya tahu itu adalah pilihan yang sangat riskan. Statistika pilihan jurusan selama bertahun-tahun menunjukkan dengan jelas bahwa Informatika adalah jurusan paling favorit, sementara kemampuan saya sama sekali tak bisa digolongkan sebagai cemerlang. Jika ingin main sedikit aman, saya seharusnya memilih jurusan yang sedikit di bawah pilihan saya itu. Tapi saya pikir, kali itu saya harus nekat memilih apa yang sudah lama jadi dambaan itu. Itulah yang saya pikirkan hingga malam misterius itu tiba.

    Sebenarnya malam itu tak ubahnya malam-malam lainnya. Langit cerah, bintang tampak berkerlap-kerlip dan udara pengap khas kota kelahiran saya. Saya terduduk di sebuah kursi teras rumah tempat saya dan beberapa teman sedang belajar bersama. Di saat yang lain sedang serius memikirkan pelbagai rumus dan hafalan, saya malah asyik bercengkrama dengan pikiran saya sendiri.

    Saya mencoba memikirkan kembali pilihan-pilihan jurusan yang akan saya ambil. Formulir pendaftaran ujian sudah ada di tangan saya dan harus diserahkan keesokan harinya. Entah malaikat mana yang kebetulan lewat malam itu, tiba-tiba pikiran saya seperti tercerahkan. Dada saya berdebar bergemuruh tatkala pikiran saya mengerucut pada sebuah pilihan. Luar biasanya, pilihan itu bukan lagi pilihan yang saya dambakan sejak lama. Konyolnya lagi, pilihan itu adalah sebuah jurusan yang sejak lama saya cibir dan saya abaikan. Lebih daripada itu, perguruan tinggi yang saya pilih jauh melebihi rasio kenormalan. Passing grade dan persaingan memperebutkannya luar biasa tinggi, dan catatan prestasi saya jelas sangat mencerminkan betapa tidak kompetitifnya saya untuk masuk dalam kancah pertarungan. Bahkan siswa yang jauh lebih cemerlang dari saya pun tak berani sebodoh dan senekat itu.

    Beberapa teman dekat menunjukkan ketidaksetujuan terhadap pilihan saya. Dalam pandangan mereka, itu bukan hanya keputusan nekat tapi sudah seperti misi bunuh diri. Mereka menyarankan pada saya untuk memikirkan ulang keputusan tersebut. Tapi saya tetap bergeming. Itulah keputusan bulat saya dan itu pulalah yang tertulis dalam formulir pendaftaran yang saya serahkan keesokan harinya. Terbukti, wangsit misterius itu tak mengkhianati saya. Saya lulus dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri itu.

    Tak terasa saya tertidur kembali di tengah laju kereta yang berderap dan bergoncang-goncang. Sebuah tepukan dan panggilan membangunkan saya dari tidur. Rupanya petugas kereta yang bermaksud mengumpulkan bantal sewaan yang sedang saya pakai. Katanya, sebentar lagi kereta akan sampai di Bandung. Saya tengok jam tangan saya. Masih jam lima lewat sedikit. Saya bergegas ke kamar mandi kereta untuk mengambil air wudhu dan kemudian melaksanakan sholat shubuh sambil duduk di kursi. Setelahnya, saya memakai jaket lusuh model lama yang tergantung di sandaran kursi, hadiah tulus dari paman ketika dia tahu bahwa saya diterima di perguruan tinggi di Bandung.

    Hawa dingin menyengat tajam menandakan bahwa Bandung memang sudah dekat. Memikirkannya membuat aliran adrenalin terpompa di dalam tubuh dan memusnahkan segala rasa kantuk yang tersisa. Sisa waktu saya habiskan dengan mencoba mereka-reka kembali bayangan imajiner saya tentang kota Bandung dan mengira-ngira seperti apakah kehidupan perkuliahan saya nanti.

    Jarum jam menunjukkan waktu hampir jam enam pagi ketika kereta api Mutiara Selatan berhenti tepat di stasiun Hall kota Bandung. Saya pun turun dari kereta bersama dengan penumpang lainnya. Dada saya bergemuruh keras tatkala kaki menapak untuk pertama kali di tanah kota ini. Rupanya beginilah rasanya jika kita menggenggam keinginan. Masa depan saya sepertinya meloncat jauh ke depan, melampaui horizon bayangan. Sebagian menyebutnya sebagai mimpi. Bagi saya, itu adalah sebuah harapan. Harapan itu bernama Departemen Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung

    ---
    Farisol
    13201040

    Kuliah

    Suatu malam aku dan suamiku berbincang tentang masa-masa kuliah dan bernostalgia dengan kehidupan kampus, mengingat kami kuliah di tempat yang sama. Dia bercerita dengan penuh semangat tentang kawan-kawannya dan betapa mengasyikkannya studinya. Dia tampak begitu menikmati masa kuliahnya (nggak heran, dia lulus dengan predikat cum laude dan IPK 3.82 gitu lohh).

    Dalam banyak hal, aku dan suamiku sangat berbeda. Sifat, kepribadian, karakter, pola pikir, dan latar belakang kami jauh berbeda. Maha Suci Allah yang telah menyatukan kami dalam pernikahan, karena kadang aku masih saja terheran-heran dengan perbedaan kami. Tak terkecuali masa kuliah, juga sangat berbeda.

    Buatku, masa-masa kuliah adalah masa-masa terberat dalam hidupku selama ini. Aku seperti diingatkan tentang sebuah perjuangan dan luka yang ditimbulkan olehnya. Kehidupan kampus yang--menurutku--keras dan lingkungan pertemanan yang--menurutku--tidak bersahabat, membuat masa-masa kuliahku penuh dengan air mata, rendah diri, depresi, ketidaksukaan terhadap banyak hal (termasuk diriku sendiri), dan rasa pesimis yang luar biasa dalam memandang hidup. Saat itu perasaan dan self esteem-ku bagai berada di titik nadir. Yah, kau mungkin akan mengalami hal yang sama jika kau pernah ber-IP satu koma selama tiga semester berturut-turut, pernah mendapat surat peringatan tentang tenggang waktu DO, dan pernah dibanding-bandingkan oleh dosen wali dengan mahasiswa lain yang ber-IP nyaris empat! Tanpa pertolongan Allah, aku mungkin nggak akan pernah ”keluar hidup-hidup” dari sana. Tanpa pertolongan Allah, aku mungkin nggak akan pernah lulus sidang TA dan diwisuda.

    Tak terasa perbincangan kami malam itu membuat mataku berkaca-kaca. Bagaimana tidak, mengingat masa-masa sulit itu bagai menggarami luka yang belum kering. Semua kenangan buruk berkelebatan muncul dan menyesakkan dada.

    Maha Besar Allah yang memberi pencerahan. Kasih-Nya selalu menyertai. Kini aku masih berusaha--dan akan terus berusaha--bersikap positif, mensyukuri banyak hal, dan lebih menyayangi diri sendiri. Satu hal yang waktu itu aku lupa: aku selalu fokus pada kelemahan. Padahal itu justru akan mengalihkan perhatian dari kelebihan yang ada. Bersibuk-sibuk mengurusi hal-hal yang tidak tepat justru akan membuat hal-hal tepat menjadi tak terlihat.

    I have a great life. It’s so beautiful. What else could it be?

    ---
    Medio Oktober 2007
    oleh Yustika
    13201137

    Beristirahat dari Rutinitas

    [ditulis ketika sedang dalam masa perjuangan menyusun TA]

    Satu jam menjelang maghrib. Rintik hujan rapat-rapat turun ke bumi. Aku memilih berjalan kaki pulang dari tempat senam sampai ke rumah. Mencoba untuk mengistirahatkan motor dan menikmati sesuatu yang lain. Itu rute yang biasa, tapi pengalaman melewatinya berbeda. Ada banyak hal terlewat dari perjalananku di atas motor selama ini. Ternyata laju kencang motor membuatku terasing dari realita.

    Kubiarkan tetes air hujan yang selama ini tertangkis kaca helm, membasahi jilbab dan wajahku. Kubiarkan diriku memekik saat terciprat kubangan oleh kendaraan yang lewat. Kubiarkan kedua ujung sepatuku berjinjit satu-satu menapaki jalanan basah.

    Lalu kubiarkan mata ini menikmati kehidupan orang-orang. Bapak-bapak tukang ojek yang berbincang merapat di bawah atap warung, pemuda berambut basah yang berteriak membantu sopir angkot mendapatkan penumpang, abang-abang penjual kaki lima yang mengukus kue atau menggoreng penganan, ibu penjual bakso yang sedang sibuk berbicara sambil mengelap kaca gerobak bakso, pengendara motor yang tergesa berpacu dengan waktu, abang tukang tambal ban yang mendorong mesinnya di jalan, sampai anak-anak punk beranting-anting yang asyik bernyanyi dan memetik gitar... mereka menuturkan kisah hidupnya padaku. Masih sempat pula kuperhatikan detil-detil arsitektur beberapa bangunan yang selama ini menarik perhatianku, tapi tidak punya cukup waktu untuk kuamati.

    Setengah jam berjalan kaki telah membawaku melalui banyak hal. Begitu banyak energi, begitu banyak keindahan. Membuatku malu mengapa aku sering kehilangan energi untuk menjalani hidup.

    -------------------------------------------------------------------------------------------------

    Sore hari yang mendung dengan sedikit rintik membasahi. Angin bertiup pelan membawa semilir menyejukkan. Kuabaikan kebiasaan untuk bergegas pulang dari kampus, dan kuputuskan untuk sebentar bercengkerama dengan suasana. Di sini, di selasar TU Elektro, dua jam menjelang maghrib.

    Di balkon lantai dua ini, lampu-lampu sudah mulai dinyalakan dan aku duduk seorang diri. Kubiarkan angin mempermainkan ujung jilbabku. Kubiarkan pula angin mengibar-ngibarkan ujung lembaran buku di tanganku. Kubiarkan mataku menikmati kolam bundar, jalan beton Plaza Widya, ujung dedaunan yang melambai, orang-orang yang sedang berjalan, dan di kejauhan... kerumunan orang bermain basket dan kumpulan orang duduk-duduk di selasar Campus Center.

    Kuhela nafas panjang. Aku tak pernah benar-benar menyadari cintaku pada kampus ini, hingga hari ini. Mereka benar, inilah kampus terbaik yang Allah berikan padaku. Meskipun selama ini aku sering mengeluhkan ganasnya kampus ini, aku harus mengakui bahwa hatiku tertambat di sini. Di sinilah aku bertemu dengan orang-orang hebat, dan di sinilah aku belajar merenda kehidupan. Menikmati waktu-waktu terakhir yang semestinya tak akan lama lagi, membuatku mensyukuri banyak hal. You don’t know what you’ve got until it’s gone.

    -------------------------------------------------------------------------------------------------

    Fiuuhh... jenak-jenak perenungan itu benar-benar indah. Menginspirasi dan memberi pengingatan. Seperti kataku pada seorang teman: dengan begitu banyak cinta, aku tahu aku pasti bisa. Thanks to Allah atas setiap detik kehidupan yang berharga ini.

    We live in a free world
    I whistle down the wind
    Carry on smiling... and the world will smile with you

    Life is a flower
    So precious in your hand
    Carry on smiling... and the world will smile with you 

    ---
    Medio Desember 2005
    oleh Yustika
    13201137
     

    About

    Kontributor kumpulan kisah dalam blog ini adalah Teknik Elektro ITB angkatan 2001. Dengan berbagai latar belakang, beraneka jenis program studi (lihat di "kategori kuliah"), dan pengalaman yang berbeda-beda, sampai detik ini kami masih terus disatukan dalam benang merah kehidupan lewat serangkaian obrolan di dunia maya, milis, maupun beberapa kali kopi darat.

    Site Info

    Blog ini dibuat sebagai bunga rampai untuk merangkum kisah dan pengalaman yang kadang terurai oleh jarak dan waktu. Sekaligus sebagai memorial dalam menyambut momen satu dasawarsa hadirnya Teknik Elektro ITB angkatan 2001.

    Text

    antologi kisah teknik elektro ITB 2001 Copyright © 2009 Community is Designed by Bie